Kebakaran Bromo dan Pentingnya Wawasan & Tanggung Jawab Lingkungan
Dewasa ini, wisata alam semakin digandrungi oleh banyak orang, termasuk mereka yang tinggal dan bekerja di wilayah perkotaan. Wisata alam dapat membantu seseorang untuk menyegarkan pikiran hingga mengurangi stres dan tekanan—dan itu pula mengapa belakangan aktivitas ini sering disebut dengan istilah ‘healing’ (penyembuhan). Namun, berwisata alam juga memerlukan tanggung jawab lingkungan. Kebakaran Bromo, atau lebih tepatnya di area Blok Savana Watangan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Jawa Timur, menjadi bukti bahwa wawasan dan tanggung jawab lingkungan mendesak untuk ditingkatkan.
Kebakaran Bromo
Blok Savana Watangan di kawasan Gunung Bromo TNBTS, atau yang juga dikenal dengan sebutan “Bukit Teletubbies”, terbakar pada 6 hingga 15 September 2023. Kebakaran di Blok Savana Watangan dipicu oleh penggunaan suar (flare) oleh pengunjung yang sedang melakukan pemotretan pra-pernikahan. Dari setitik api yang jatuh ke rumput yang kering, kebakaran merambat dengan cepat karena tiupan angin hingga menghanguskan setidaknya 504 hektare lahan vegetasi.
Akibatnya, kawasan Gunung Bromo ditutup selama 13 hari. Menurut perhitungan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), kebakaran tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp89,7 miliar dari sektor pariwisata.
Namun, kerugian akibat kerusakan alam yang sesungguhnya tentu tak sekadar hitung-hitungan dalam nilai uang. Bentang alam Gunung Bromo yang begitu indah, berikut lahan, hutan, dan keanekaragaman hayati yang hidup di dalamnya, adalah suatu kekayaan yang tak tepermanai. Belum lagi, ada banyak masyarakat sekitar yang terdampak kehidupan dan mata pencahariannya akibat kebakaran itu, termasuk masyarakat adat Suku Tengger.
Meningkatkan Wawasan dan Tanggung Jawab Lingkungan
Menyusul kebakaran itu, Manajer Wedding Organizer yang berperan sebagai penanggung jawab terkait perizinan masuk ke kawasan konservasi Gunung Bromo dan memberikan ide dan konsep penggunaan suar selama pemotretan, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Probolinggo. Namun, terlepas dari siapa yang bersalah menurut hukum formal, kebakaran Bromo merupakan tanggung jawab banyak pihak. Apalagi, kebakaran di kawasan TNBTS terjadi hampir setiap tahun. Bahkan sepekan sebelum kebakaran di Blok Savana Watangan, kebakaran juga terjadi di Blok Bantengan, Kabupaten Lumajang; dan meluas hingga Blok Watu Gede, Blok Jantur, kawasan wisata B29, dan kawasan wisata P30 di Kabupaten Probolinggo.
Karena itu, diperlukan langkah untuk meningkatkan wawasan dan tanggung jawab lingkungan, baik di kalangan wisatawan, pengelola destinasi wisata, hingga masyarakat dan para pemangku kepentingan secara luas melalui edukasi dan sosialisasi yang masif dan efektif. Pendidikan iklim di semua level, termasuk untuk orang dewasa, dapat menjadi salah satu jalan.
Kemenparekraf sendiri telah menyiapkan tiga strategi untuk meningkatkan tanggung jawab lingkungan menyusul kebakaran tersebut, yaitu:
- Memperkuat perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai UU Nomor 32 Tahun 2009.
- Memantau dan mengevaluasi penerapan Standar Prosedur Operasional kunjungan wisatawan secara berkala.
- Memperketat pengawasan di lapangan.
“Pemulihan harus dilakukan dari dua sisi, dari sisi pelaku wisata dan penikmat wisata. Salah satu caranya yaitu dengan memberikan edukasi kepada pelaku wisata dan para wisatawan untuk ikut serta bertanggung jawab,” kata Agustini Rahayu, Direktur Kajian Strategis Kemenparekraf.
Wawasan dan tanggung jawab lingkungan penting untuk mendukung pariwisata yang berkelanjutan, tidak hanya di Bromo, tetapi di semua wilayah di Indonesia. Di tengah perubahan iklim dan upaya peningkatan ekonomi dari sektor pariwisata, mempromosikan dan meningkatkan pariwisata berkelanjutan dan tahan bencana merupakan hal yang krusial. Praktik pariwisata yang mementingkan keuntungan ekonomi sesaat dan parsial mesti ditinggalkan dan beralih ke model pariwisata berkelanjutan. Sebab, tidak hanya untuk pelestarian lingkungan, pariwisata berkelanjutan penting untuk memastikan keberlanjutan di seluruh aspek sosial, ekonomi, dan budaya.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.