Menghapus Stigma & Diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV/AIDS
HIV/AIDS merupakan penyakit yang masih menjadi momok sampai hari ini. Lebih dari sekadar menanggung penyakit biologis, orang/anak yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA dan ADHA) rentan mengalami diskriminasi dan pengucilan di masyarakat. Stigma terhadap pengidap HIV/AIDS membuat mereka kerap kehilangan akses ke banyak hal, termasuk kesehatan dan pendidikan.
Sedihnya, sampai hari ini, masih ada anggapan bahwa HIV/AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh pergaulan bebas, seperti penggunaan narkoba, seks bebas, hubungan seks berganti-ganti pasangan, dan hubungan sesama jenis. Padahal, banyak pengidap HIV/AIDS yang tidak pernah sama sekali bersentuhan dengan hal-hal seperti itu. Mereka hanya tertular dari pembawa virus HIV dengan berbagai cara.
Tentang Virus HIV dan AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang menyerang sistem imunitas. Virus ini merusak sistem kekebalan tubuh dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4. Semakin banyak sel CD4 yang hancur, daya tahan tubuh akan semakin melemah sehingga rentan diserang berbagai penyakit.
Infeksi virus HIV dapat menurunkan kemampuan imunitas manusia dalam melawan benda-benda atau zat asing di dalam tubuh. Pada tahap terminal infeksinya, HIV menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).
Seseorang yang dalam darahnya terdapat virus HIV dapat terlihat sehat dan belum tentu membutuhkan pengobatan. Walau demikian, orang tersebut dapat menularkan virus HIV kepada orang lain apabila melakukan hubungan seks berisiko atau berbagi penggunaan alat suntik.
Penularan HIV dapat terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh penderita, seperti darah, sperma, cairan alat kelamin, cairan anus, serta ASI. Penderita HIV/AIDS memerlukan pengobatan Antiretroviral (ARV) untuk menekan jumlah virus HIV di dalam tubuh sehingga menekan risiko penularan ke orang lain dan meningkatkan harapan hidup.
Di Indonesia, kasus AIDS pertama ditemukan pada tahun 1987, ditandai dengan kematian seorang warga negara Belanda di RSUP Sanglah, Denpasar, Bali. Per Juni 2022, total kasus HIV di seluruh provinsi di Indonesia mencapai 519.158. DKI Jakarta menjadi penyumbang terbesar dengan 90.956 kasus.
Bebas HIV/AIDS 2030
Mengikuti tujuan global, Indonesia berkomitmen untuk mengakhiri epidemi HIV/AIDS pada 2030. Untuk mencapai tujuan itu, pemerintah mengusung misi Three Zero 2030: Tidak ada infeksi baru virus HIV/AIDS, tidak ada kematian akibat HIV/AIDS, dan tidak ada stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.
Untuk mewujudkan target tersebut, beberapa upaya telah dilakukan Kementerian Kesehatan. Antara lain dengan menerapkan Strategi Fast Track 95-95-95 yang meliputi:
- Percepatan pencapaian 95% orang mengetahui status HIV melalui tes atau deteksi dini.
- Sebanyak 95% ODHA yang mengetahui status HIV mulai menjalani terapi ARV.
- 95% ODHA dalam terapi ARV berhasil menekan jumlah virusnya sehingga mengurangi kemungkinan penularan HIV dan tidak ada lagi stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.
Namun dari target tersebut, sejauh ini baru 79% ODHA yang mengetahui status HIV, baru 41% orang dengan HIV (ODHIV) yang mendapatkan obat ARV, dan baru 16% ODHIV yang mendapatkan ARV sudah mengalami supresi virus (penurunan viral-load).
Menurut Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono, masih rendahnya pencapaian target tersebut dipengaruhi oleh stigma dari keluarga, masyarakat, maupun petugas kesehatan terhadap orang dengan HIV. Hal ini berdampak pada rendahnya tingkat kepatuhan pengidap HIV untuk menjalani pengobatan ARV.
“Ini memberi refleksi bagi kita untuk melakukan upaya yang terbaik di masa yang akan datang. Sehingga kita bisa melakukan optimalisasi dan sinergi di antara kelembagaan. Dan kita bisa menempatkan pasien ODHA di tempat strategis dan sebaik-baiknya berdasarkan hak asasi yang mereka miliki,” kata Dante.
Pada akhirnya, kita semua dapat berperan untuk mengakhiri HIV/AIDS dalam bentuk sekecil apapun. Tidak menaruh stigma dan tidak melakukan tindakan atau bersikap diskriminatif terhadap Orang Dengan HIV/AIDS adalah langkah minimum yang sangat berarti.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.