Lena Guslina, Menggugah Kesadaran akan Kerusakan Alam Lewat Seni Tari
Tubuh Bumi tersakiti di mana-mana, termasuk di Bandung, Jawa Barat. Eksploitasi terhadap alam secara besar-besaran—seperti deforestasi, ekspansi industri ekstraktif, dan alih fungsi lahan— membuat Bumi bereaksi dan bencana alam terjadi di berbagai tempat. Banjir, longsor, hingga kebakaran hutan dapat terjadi sewaktu-waktu dengan frekuensi yang meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Setiap orang mungkin merasakan dampak yang berbeda-beda, tapi Lena Guslina, koreografer dan penari kontemporer asal Bandung, sampai-sampai tidak berani turun ke jalan ketika langit telah mendung.
Lena hafal setiap kali hujan turun, banjir akan menggenangi kotanya dan menciptakan kemacetan di jalan. Menurut pengamatannya, banjir semakin sering terjadi di Bandung dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak perumahan-perumahan tumbuh subur di kaki-kaki gunung. Dulu, sekitar tahun 2010, jika ia memandang ke arah gunung, ia masih bisa menikmati pemandangan hijau. Tapi sekarang, yang terlihat olehnya adalah rumah-rumah warga.
“Ketika hujan, semua air turun ke bawah, ke wilayah kota. Sampai sekolah pun terendam. Kondisinya sudah carut marut. Banjir di mana-mana, di beberapa kabupaten terjadi longsor, termasuk di Garut. Sampai banjir bandang juga,” katanya. “Kita tidak bicara di Bandung saja ya karena saya memandang masalah lingkungan tidak terbatas pada suatu wilayah saja, tetapi secara global. Masalah-masalah itu nempel di pikiran saya, menumbuhkan gejolak dalam diri saya, dan mendorong saya untuk berbuat. Saya nggak bisa diam aja.”
Merespons Kerusakan Alam dengan Seni Tari
Kerusakan alam mengusik Lena Guslina. Sebagai seorang seniman yang menekuni dunia seni tari selama lebih dari 22 tahun, ia meresponsnya dengan gerak tubuh yang ia tuangkan ke dalam karya-karya seni tari kontemporer dan menampilkannya di tempat-tempat umum untuk menggugah kesadaran orang-orang.
“Dengan gerak tubuh saya, dengan tarian, saya ingin mengingatkan tentang kerusakan alam kita. Saya tidak berpikir terlalu jauh dampaknya akan seperti apa—ini hanya sekadar respons saya secara intuitif. Tapi saya merasa harus memprotes kerusakan lingkungan dengan seni, dengan harapan bisa menjadi jalan alternatif supaya orang tergugah. Ini hanyalah sumbangsih kecil saya yang mungkin orang akan menganggapnya sepele,” tutur alumnus Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung ini.
Pada tahun 2016, Lena banyak mengadakan pertunjukan koreografi dan seni tari di taman-taman yang ada di Kota Bandung untuk memprotes penanganan masalah lingkungan yang menurutnya tidak menyentuh permasalahan mendasar.
“Saya berpikir taman-taman itu sudah terlalu cantik. Letak masalahnya bukan di situ. Pemerintah harusnya jangan hanya mempercantik taman, melebarkan gorong-gorong, dan lain sebagainya yang sifatnya hanya untuk mempersolek. Ada permasalahan yang jauh lebih serius dan harus dipikirkan bersama. Hutan dan pegunungan itu yang lebih krusial untuk diselamatkan. Bagaimana bisa hutan dibuat jadi perumahan? Kalau tidak dapat izin dari pemerintah, kan, tidak mungkin pengembang itu berani membangun di sana,” katanya.
Sebagai upaya untuk memperkeras gaung protesnya, mulai tahun 2017 Lena menggeser pertunjukannya ke hutan-hutan yang ada di Jawa Barat. Dalam setiap pertunjukannya, perempuan kelahiran Bandung, 16 Agustus 1977 ini melibatkan berbagai pihak, termasuk pemusik, pantomimer, dan aktor, dan selalu mengusung konsep yang berbeda-beda agar tidak monoton. Beberapa tarian Lena yang mengekspresikan kepedulian terhadap lingkungan di antaranya Jejak Rimba, Air Mata Bumi, Dialektika Tubuh Taman dan Hutan Kota, Desah Rimba, dan Elegi Bumi. Tarian-tarian itu telah ia tampilkan dalam beberapa kesempatan dan ditonton oleh banyak orang.
Masih tentang kerusakan alam, Lena juga beberapa kali menampilkan pertunjukan koreografi dan tarian untuk menyuarakan kepedulian terhadap korban bencana alam. Salah satunya tarian ‘Gemuruh Sunyi’ yang ia tampilkan dalam acara Donasi Amal untuk korban gempa Palu-Donggala di hutan kota Babakan Siliwangi pada November 2018.
“Saya menggelar pertunjukan tari teatrikal di hutan. Pertama di hutan Manglayang, terus di Hutan Raya Dago, di Hutan Kota Babakan Siliwangi, dan lainnya. Saya juga pernah ke Bali, waktu itu saya perform di hutan bakau. Kalau dulu awalnya saya mengangkat isu flora dan fauna, tapi belakangan saya juga angkat isu sampah plastik yang sekarang jadi monster di Bumi,” ujar pendiri Legus Studio ini.
Tantangan dan Perjuangan Lena Guslina
Lena bercerita, menggelar pertunjukan seni tari dan koreografi di hutan bukanlah hal yang mudah. Untuk sekali pertunjukan di hutan, ia harus melalui proses yang panjang, mulai dari persiapan kostum dan properti hingga mengurus perizinan dari institusi terkait. Terkadang, mengurus itu semua memakan waktu berminggu-minggu.
“Lucu sih, ketika saya mau perform harus ada izin. Harus ada surat ini-itu. Ada saja hal-hal kayak begitu. Padahal apa yang saya lakukan untuk kebaikan dan tidak ada kepentingan komersilnya sama sekali,” katanya.
Menurut Lena, seorang seniman mesti rela berjuang untuk membantu mengatasi masalah mendesak yang ada di Bumi. Ia sendiri tak pernah mendapatkan dukungan finansial dari manapun dalam setiap pertunjukan seni tari yang ia tampilkan. Semua ia tanggung dengan uangnya sendiri.
“Mulai dari pengadaan kostum, konsumsi, survei, saya lakukan tanpa bantuan dari pemerintah atau dari manapun. Yang namanya seniman itu harus berani berkorban, baik materi maupun fisik. Tapi, kan, kalau rezeki nggak akan ke mana, nanti ada gantinya. Kalau support dari teman-teman sudah pasti, dan itu yang paling penting,” kata dia.
Pengorbanan Lena terbayar dengan apresiasi para penontonnya. Pertunjukannya bahkan selalu mendapat peliputan dari berbagai media massa karena menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan. Seraya terus menari dan menari, Lena berharap apa yang dilakukannya dapat mendorong perubahan.
“Seharusnya, tanpa saya melakukan ini pun, pemerintah lebih peduli terhadap masalah lingkungan. Kalau semua orang menutup mata, mau jadi apa lingkungan kita beberapa tahun ke depan?” katanya.
Membagi Waktu dengan Cermat
Berkontribusi lewat seni untuk mendorong perubahan merupakan sebuah tantangan bagi Lena. Banyak hal yang tak jarang membahayakan dirinya saat hendak mengadakan pertunjukan di tempat terbuka. Pernah suatu hari, saat hendak tampil di sebuah acara di Galeri Nasional Indonesia, ia harus berdiri di atas panggung selama dua jam menahan angin kencang demi mempertahankan kostum yang ia pakai.
Di lain waktu, ketika ia hendak mengadakan pertunjukan koreografi dan tari di hutan, properti yang sudah ia siapkan pada hari sebelumnya hilang. Ibu dua anak ini juga harus membagi waktunya untuk keluarga dan berbagai urusan lain di luar tekadnya untuk menyuarakan masalah kerusakan lingkungan.
“Saya harus pinter-pinter membagi waktu. Saya harus mengurus anak, mengurus suami. Ketika anak sakit, misalnya, ada hal yang harus saya tangani,” katanya.
Lena juga selalu berupaya untuk memastikan bahwa setiap karya dan pertunjukannya dapat diterima oleh semua kalangan. “Kalau kita tough dalam berbuat sesuatu, apapun itu bentuk dan situasinya, orang nggak akan lihat lagi elu perempuan atau laki-laki. Menurut saya yang akan dilihat orang bukan lagi gendernya, tapi konsepnya. Bagaimana kita menawarkan konsep yang segar untuk mengekspresikan sesuatu lewat seni,” kata dia.
Menari di Atas Kanvas
Ketika Pandemi COVID-19 menghantam Indonesia, tubuh Lena Guslina sempat terkungkung. Ia tak bisa menari di luar karena pemberlakuan pembatasan sosial. Saluran untuk mengekspresikan keseniannya tertutup. Saat itu, Lena bahkan sempat tertekan secara psikologis, terutama karena berita-berita negatif tentang COVID-19 di berbagai media.
Namun, kreativitas Lena rupanya tak bisa dihentikan begitu saja. Tak bisa menari di luar, diam-diam ia menari di atas kanvas. Lewat lukisan, ia mendedahkan seluruh perasaan cemas dan gamang yang ia alami selama terkurung di rumah akibat Pandemi COVID-19–yang tak dapat dipisahkan dengan kerusakan alam. Saat pembatasan sosial mulai dilonggarkan, sebanyak 30 lukisan yang ia ciptakan dipamerkan di Galeri Pusat Kebudayaan Bandung pada 20-23 Maret 2022 dengan tajuk “Kumau Diriku: Gerak Garis Lena Guslina”. Semua lukisan itu ia lukis tanpa kuas, hanya dengan gerakan jari-jemarinya.
Ketika itu, banyak orang yang terkejut, terlebih karena selama berkiprah di dunia kesenian, Lena hanya dikenal sebagai penari dan koreografer.
“Ada beberapa kawasan hutan yang tidak boleh dimasuki karena pandemi dan aturannya sangat ketat. Lalu pembatasan sosial berlaku, kita nggak bisa keluar. Akhirnya saya ekspresikan kegelisahan saya di atas kanvas. Saya menggambarkan kondisi Bumi lewat lukisan,” kata dia.
Sama seperti tarian yang ia tampilkan, Lena pun berharap lukisan-lukisannya dapat menyadarkan orang-orang akan kerusakan alam dan bertindak untuk memperbaikinya. Ia yakin bahwa seni adalah saluran terbaik untuk mendorong perubahan, karena disampaikan dengan cara yang indah. “Seniman itu punya peran yang efeknya luar biasa, apalagi jika si seniman itu tergerak dari dirinya sendiri. Jadi, seniman harus di-support,” katanya.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.