Urgensi untuk Mengakhiri Kekerasan di Lingkungan Pendidikan
Di banyak negara di dunia, sektor pendidikan sedang berupaya untuk mewujudkan pendidikan yang inklusif dan berkualitas untuk semua. Pendidikan inklusif dan berkualitas sangat penting untuk mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, di mana tidak ada seorang pun yang tertinggal di belakang. Namun di Indonesia, ada banyak persoalan yang lebih mendasar dalam dunia pendidikan, salah satunya terkait masih maraknya kekerasan di sekolah atau di lingkungan satuan pendidikan secara umum. Demi mewujudkan pembelajaran yang lebih baik, mengakhiri kekerasan di lingkungan pendidikan dalam segala bentuknya merupakan suatu hal yang mendesak.
Kekerasan di Lingkungan Pendidikan: Dari Bullying hingga Kekerasan Fisik
Pada 28 Februari 2024, seorang siswi SD di Padang Pariaman mengalami perundungan oleh temannya saat mengikuti kegiatan gotong royong membersihkan sekolah pada jam mata pelajaran olahraga. Siswi tersebut disiram dengan bensin dan tubuhnya segera terbakar sesaat kemudian. Setelah tiga bulan menjalani perawatan di beberapa rumah sakit, siswa tersebut meninggal dunia pada 21 Mei 2024.
Di Situbondo, seorang siswa Madrasah Tsanawiyah dikeroyok oleh sembilan temannya pada 18 Mei 2024. Pelajar tersebut menderita luka parah akibat dianiaya dengan senjata tajam dan meninggal dunia setelah dirawat selama beberapa hari.
Mundur ke belakang, pada November 2023, di Bekasi, seorang siswa SD dirundung teman-temannya dan dijegal hingga kakinya patah dan terpaksa diamputasi. Namun, infeksi pada kakinya terus memburuk, dan siswa tersebut meninggal dunia pada 7 Desember 2023.
Tiga peristiwa di atas hanyalah sekelumit dari kasus kekerasan yang pernah terjadi di lingkungan pendidikan. Di luar itu, ada banyak kasus yang pernah terjadi di Indonesia, baik berupa perundungan (bullying), intimidasi, hingga kekerasan psikis, fisik, dan seksual.
Menurut data pengaduan yang diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak Januari hingga Maret 2024, dari 114 laporan kasus kekerasan yang masuk, 35% di antaranya terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Sementara itu, pada tahun 2023, Yayasan Cahaya Guru mencatat 136 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, dengan 19 korban meninggal dunia. Jumlah tersebut mungkin jauh lebih tinggi jika mencakup kasus kekerasan online, kekerasan massal seperti tawuran pelajar, serta kasus-kasus lain yang tidak terungkap.
Tidak hanya sesama pelajar, kekerasan di satuan pendidikan juga tidak jarang melibatkan guru, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. Salah satu kasus yang paling menggemparkan terjadi di Demak, Jawa Tengah, dimana seorang siswa Madrasah Aliyah menganiaya gurunya dengan senjata tajam pada 25 September 2023. Menurut pemberitaan Kompas, pelajar tersebut menganiaya gurunya karena dilarang mengikuti ujian tengah semester.
Sementara itu, dari sisi guru sebagai pelaku, cukup sering terjadi kasus kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid, terutama berupa kekerasan seksual. Salah satu kasus terbesar terjadi di sebuah pondok pesantren di Bandung, yang terungkap pada 2021.
Masalah Mendesak
Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan merupakan masalah mendesak yang harus segera diakhiri, terutama mengingat potensinya yang sangat besar untuk terus terjadi. Menurut hasil survei Asesmen Nasional Kemendikbudristek tahun 2022, sebanyak 36,31% (1 dari 3) siswa (peserta didik) berpotensi mengalami perundungan; 34,51% (1 dari 3 siswa) berpotensi mengalami kekerasan seksual, dan 26,9% (1 dari 4 siswa) berpotensi mengalami hukuman fisik.
Untuk mencegah dan mengatasi kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, seluruh pihak mesti memahami berbagai faktor penyebabnya. Menurut KPAI, setidaknya ada delapan faktor yang menyebabkan terjadi kekerasan di lingkungan pendidikan, yakni:
- Belum optimalnya sosialisasi, pembinaan, dan edukasi tentang kekerasan pada Satuan Pendidikan hingga menyentuh lingkungan Tri Pusat Pendidikan (pendidikan sekolah, pendidikan keluarga, dan pendidikan masyarakat).
- Terbatasnya SDM pada Satuan Pendidikan yang memiliki kompetensi dalam hal perlindungan anak.
- Satuan Pendidikan tidak melakukan deteksi dini terhadap potensi penyimpangan perilaku pada peserta didik.
- Adanya normalisasi praktik kekerasan di lingkungan pendidikan, karena dianggap salah satu bentuk pengajaran dan pendisiplinan.
- Adanya kecenderungan lingkungan pendidikan untuk menutupi kasus kekerasan yang terjadi, karena dianggap akan merusak reputasi lembaga.
- Beban belajar belum menyentuh secara optimal mengenai penguatan sikap, karakter, mental, dan akhlak mulia.
- Latar belakang pengasuhan keluarga atau pengasuhan alternatif yang kurang positif dari anak yang terlibat kekerasan, sehingga masalah yang dialami anak berpengaruh pada pembentukan sikap, mental, dan pola pergaulan anak.
- Belum optimalnya implementasi regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan pada satuan pendidikan di tingkat pemerintah daerah dan satuan pendidikan.
Selain faktor-faktor tersebut, penting juga untuk memahami faktor struktural dan kultural yang lebih mengakar, yang menyebabkan kekerasan di lingkungan pendidikan terus terulang, seperti ketimpangan sosial-ekonomi dan relasi kuasa antara pelaku dan korban.
Kekerasan di Lingkungan Pendidikan dan Kesehatan Mental Saling Berkaitan
Ada banyak aspek yang terdampak oleh maraknya kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Fenomena ini bahkan dapat menentukan masa depan generasi muda, yang pada gilirannya juga dapat berdampak terhadap masa depan negara. Salah satunya menyangkut kesehatan pelajar, terutama kesehatan mental. Bagaimanapun, kekerasan dapat mempengaruhi kesehatan mental pelajar, bahkan dapat menimbulkan trauma berkepanjangan.
Hasil Survei Nasional Kesehatan Mental Remaja Indonesia tahun 2022, menyatakan bahwa 1 dari 3 remaja berusia 10-17 tahun di Indonesia (15,5 juta remaja) memiliki gangguan kesehatan mental, yang salah satunya akibat kekerasan yang mereka alami di lingkungan pendidikan. Namun, hubungan antara kesehatan mental dan kekerasan di satuan pendidikan tidak berlangsung satu arah. Pada saat yang sama, maraknya kasus kekerasan di satuan pendidikan juga menunjukkan bahwa terdapat masalah kesehatan mental yang serius di kalangan anak-anak dan remaja di Indonesia. Masalah kesehatan mental tersebut dapat dipengaruhi oleh kondisi atau latar belakang keluarga, pola pengasuhan sejak kecil, dan lingkungan.
“Secara psikologis, pelaku kekerasan cenderung memiliki gangguan kesehatan mental dalam dirinya sendiri. Faktor pemicu dari tendensi tindakan kekerasan pada pelaku juga bermacam-macam, mulai dari kesiapan mental orang tua, kondisi ekonomi, hingga pengalaman kekerasan serupa di masa kecil,” kata Indria Laksmi Gamayanti, Psikolog Klinis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM.
Oleh karena itu, mengatasi masalah kekerasan di lingkungan satuan pendidikan perlu dilakukan dengan mempromosikan pentingnya kesehatan mental anak-anak dan remaja, baik di kalangan warga satuan pendidikan maupun di lingkungan masyarakat secara umum.
Berbagai upaya sejatinya telah dilakukan untuk mencegah dan mengatasi masalah ini. Pemerintah, misalnya, melalui Kemendikbudristek telah menerbitkan Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP). Peraturan ini bertujuan untuk menangani dan mencegah kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi dan intoleransi, dan berbagai bentuk kekerasan lainnya.
Namun sayangnya, sejauh ini implementasi dari peraturan ini belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sejak peraturan ini diterbitkan pada Agustus 2023, berbagai kasus kekerasan di satuan pendidikan terus terjadi.
Rekomendasi
Dalam Focus Group Discussion yang membahas soal maraknya kekerasan di satuan pendidikan, KPAI memberikan sejumlah rekomendasi untuk mengakhiri kekerasan di lingkungan pendidikan, di antaranya:
- Mendorong percepatan implementasi Permendikbud 46 tahun 2023, serta kebijakan terkait lainya oleh Kementerian/Lembaga, terutama di tingkat daerah dan satuan pendidikan.
- Mempercepat pembentukan Satgas Daerah dan tim PPKSP yang sesuai kriteria dan memiliki perspektif komitmen perlindungan anak.
- Mengaktifkan peran keluarga, kelompok teman sebaya, satuan pendidikan, dan media sosial dalam membangun sistem perlindungan anak.
- Menyediakan pendidikan dan pelatihan bagi guru terkait kompetensi perlindungan anak.
- Memastikan kecukupan jumlah dan kompetensi Guru BK pada satuan pendidikan, dan membekali setiap guru dengan kompetensi konseling.
Pada akhirnya, kita semua mesti berperan dalam upaya mengakhiri kekerasan di satuan pendidikan, dan memastikan pemenuhan hak anak untuk belajar dalam lingkungan yang aman. Pengajaran mengenai sikap welas asih dan saling menghargai sesama perlu diberikan kepada anak-anak sejak dini, terutama oleh orang tua dan lingkungan keluarga.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.