Agroforestri Salak di Bali Diakui sebagai Warisan Pertanian Penting Dunia
Ada banyak jenis buah-buahan tropis yang lezat di Indonesia yang telah dikenal luas, termasuk salak. Namun, berbicara tentang buah-buahan lokal, salah satu hal penting yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana buah itu dibudidayakan, karena buah merupakan bagian sistem pertanian yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan. Terkait hal ini, sistem agroforestri salak Bali diakui oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) sebagai Sistem Warisan Pertanian Penting Dunia (Globally Important Agricultural Heritage Systems/GIAHS).
Salak di Bali
Secara umum, Bali dikenal dengan pariwisatanya yang menawarkan lanskap alam, budaya yang kaya, dan keramahan penduduknya. Namun selain itu, Bali juga memiliki komoditas buah salak yang cukup terkenal dan sering dijadikan buah tangan alternatif oleh pengunjung untuk dibawa pulang.
Daerah penghasil salak di Bali yang utama adalah Kabupaten Karangasem—yang dikenal sebagai wilayah terkering di Pulau Bali. Menurut catatan, salak Bali diperkirakan berasal dari Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. Desa ini berada di ketinggian sekitar 500-600 meter di atas permukaan laut, dan merupakan daerah lahan kering beriklim basah dengan jenis tanah yang dominan laterit. Seiring waktu, budidaya salak Bali terus menyebar ke berbagai daerah lain di Bali, termasuk di luar Karangasem seperti Kabupaten Gianyar, Kabupaten Bangli, Kabupaten Badung, Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Buleleng.
Di Desa Sibetan sendiri, setidaknya terdapat 15 kultivar salak yang dibudidayakan. Di antara 15 jenis salak itu ada salak gondoh, salak gula pasir, salak getih, salak cengkeh, salak kelapa, dan salak beringin. Masing-masing varian salak tersebut memiliki rasa, warna, tekstur, ukuran pohon, dan bentuk daun yang berbeda-beda.
Agroforestri Salak di Bali
Berbeda dengan perkebunan salak pada umumnya, budidaya salak di Bali, khususnya di Kabupaten Karangasem, dilakukan dengan sistem agroforestri tradisional yang melibatkan integrasi salak dengan tanaman dan pohon-pohon lainnya, seperti mangga, pisang, kelapa, tanaman obat, dan berbagai pohon lainnya, sehingga menciptakan lanskap pertanian yang kaya. Sistem ini dikembangkan oleh masyarakat adat Bali dengan menggunakan subak tradisional dalam pengelolaan air. Salak ditanam di bawah naungan pohon-pohon tinggi yang melindungi sumber air, sehingga menciptakan keanekaragaman hayati yang tinggi dan memadukan nilai budaya dan keberlanjutan ekologi.
Dengan cara ini, pepohonan salak menjadi lebih sehat dan terlindungi dari hama, dan kelembapan tanahnya pun lebih terjaga. Selain itu, metode ini juga membantu mempertahankan topografi, mencegah erosi, menghemat air, menyerap karbon, dan mendukung keamanan pangan sekaligus menjaga warisan budaya dan mata pencaharian lokal.
Berakar pada filosofi tradisional Bali seperti “Tri Hita Karana” dan “Tri Mandala,” sistem ini mencerminkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan spiritualitas yang telah terdaftar sebagai Lanskap Budaya UNESCO. Sistem ini telah diwariskan dan diterapkan secara turun temurun hingga saat ini. Dengan cara ini, masyarakat Bali membudidayakan salak tanpa merusak hutan sehingga mata pencaharian mereka dari produksi salak terus berlanjut. Selain buahnya, setiap bagian dari pohon salak Bali juga dimanfaatkan masyarakat Bali untuk berbagai keperluan sehingga menjadikan tanaman tersebut sebagai tanaman tanpa limbah.
Pada 19 September 2024, sistem agroforestri salak yang telah lama diterapkan oleh masyarakat Bali ini mendapat pengakuan dari FAO, dan masuk dalam daftar Sistem Warisan Pertanian Penting Dunia (GIAHS) bersama sistem budidaya kolam ikan karper di Austria dan sistem agroforestri kakao di Sao Tome dan Principe. Dengan tambahan tiga sistem ini, kini telah ada 89 sistem pertanian dari 28 negara di seluruh dunia yang masuk dalam daftar GIAHS.
Memperluas Sistem Pertanian yang Selaras dengan Alam
Sektor pertanian adalah salah satu sektor yang paling strategis karena berkaitan dengan berbagai aspek, termasuk sejarah, mata pencaharian, ketahanan pangan, hingga kelestarian lingkungan alam. Sistem agroforestri salak di Bali telah mempertegas bahwa sistem pertanian yang selaras dengan alam dapat menjadi solusi berharga di tengah kerusakan lingkungan yang meluas di banyak tempat, terutama akibat pertanian yang dijalankan dengan cara-cara yang tidak berkelanjutan. Dengan kekayaan sumber daya alam yang ada, Indonesia memiliki potensi dan peluang besar untuk mengembangkan sistem pertanian seperti ini di banyak daerah. Dukungan, tindakan, dan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan sangat dibutuhkan untuk mewujudkannya.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.