Eklin Amtor de Fretes Merajut Perdamaian di Maluku dengan Dongeng
Pada awal Reformasi, Maluku diliputi konflik berdarah yang merenggut hampir 5.000 nyawa antara tahun 1999 hingga 2002. Dua dekade berlalu, sebagian masyarakat di Maluku masih hidup dalam bayang-bayang konflik tersebut. Dan adanya segregasi sosial membuat trauma itu masih membekas sampai hari ini.
Hal itulah yang mendorong Eklin Amtor de Fretes untuk merajut perdamaian di antara masyarakat yang beragam di Maluku. Ia melakukannya dengan cara berdongeng keliling menggunakan metode ventrilokuisme. Dongeng perdamaian yang disampaikan Eklin tidak hanya didengar oleh anak-anak, tetapi juga orang-orang dewasa dari berbagai latar belakang.
Bersama bonekanya, Dodi, Eklin telah mengelilingi lebih dari 73 tempat di Maluku dan Maluku Utara, berpindah dari satu desa ke desa lain, dari satu pulau ke pulau lain, dan telah menjangkau lebih dari 1.000 anak. Sejak 2020, Eklin yang telah ditahbiskan menjadi seorang pendeta, bertugas di Pulau Damer, tepatnya di Desa Bebar Timur, Kecamatan Bulur, Kabupaten Maluku Barat Daya. Meski hidup di daerah terpencil dan tertinggal yang sulit menjangkau internet, Eklin tetap bersemangat menebar perdamaian setiap kali ada kesempatan.
“Ini Anda beruntung bisa menelepon saya lewat WhatsApp karena sekarang saya sedang di Ambon sebentar. Kebetulan sekali,” katanya, saat Green Network berbincang dengannya pada Senin, 7 November 2022.
Cerita Awal Berdongeng Keliling
Sebelum melakukan Gerakan Dongeng Damai mengelilingi Maluku, tahun 2016 Eklin mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Asosiasi Living Values Education. Dari situ, ia mendapat ilmu dan pengalaman serta akreditasi sebagai trainer nasional untuk Living Values Education (pendidikan yang menghidupkan nilai). Selepas pelatihan itu, ia pulang ke Ambon untuk menerapkan ilmunya.
“Tetapi untuk konteks ke-Maluku-an, metode ini tidak terlalu berdampak. Maka saya sesuaikan dengan konteks Maluku, yang mana kami butuh untuk menyembuhkan diri dari trauma masa lalu,” kata pemuda asal Masohi, Maluku Tengah ini.
Eklin lantas menginisiasi kegiatan Youth Interfaith Peace Camp (YIPC) atau Kemah Damai Pemuda Lintas-iman di Ambon pada tahun 2017. Kegiatan ini merangkul para pemuda lintas agama di Maluku, termasuk komunitas masyarakat adat pemeluk kepercayaan lokal. Eklin mengadakan kegiatan itu tanpa dukungan dana dari pihak manapun.
“Saya melakukan kegiatan sosial atau kegiatan pendidikan perdamaian itu dengan dana sendiri. Saya menjual cokelat dan kerajinan tangan untuk mendanai kegiatan saya,” katanya.
Belajar Mendongeng Otodidak
Eklin sempat membangun komunitas bernama Jalan Merawat Perdamaian (JMP) yang berisi anak-anak muda dari berbagai latar agama. Bersama teman-temannya, ia menebarkan perdamaian yang menyasar pada anak-anak muda di Maluku. Pada akhir tahun 2017, Eklin merasa bahwa penyebaran perdamaian perlu menyasar kalangan yang lebih luas mengingat segregasi di Maluku yang rawan menimbulkan gesekan. Dari situ, anggota JMP bergerak dengan jalannya masing-masing.
“Segregasi masih hidup sampai hari ini. Jadi kisah yang disampaikan orang tua itu secara umum lebih kepada pelabelan-pelabelan untuk membenci yang berbeda. Anak-anak akhirnya hanya mendengar dari satu sisi, dan akibatnya mudah untuk memasang pelabelan buruk pada yang berbeda karena mendengar cerita yang tidak utuh itu,” kata Eklin.
Pada dasarnya, Eklin tidak memiliki latar belakang mendongeng atau bercerita. Ia juga bukan pribadi yang suka berinteraksi dengan anak-anak. Namun, segregasi sosial yang rentan memicu konflik di Maluku mendorongnya untuk mengalahkan kelemahannya dan belajar mendongeng dengan tekun. Mengusung Dongeng Damai, Eklin ingin menghadirkan kontra narasi terhadap cerita-cerita tak utuh yang beredar liar untuk mencegah tumbuhnya benih-benih kebencian terhadap liyan.
“Latar belakang itu membuat saya merasa ‘Oh, saya harus belajar mendongeng dan dekat dengan anak-anak’. Karena kalau tidak, anak-anak ini nanti akan semakin parah tingkat intoleransi dan pemahamannya tentang keberagaman dan lain-lain. Kami di sini mudah tergesek hanya karena masalah-masalah kecil, persaudaraan lintas-iman kami bisa hancur,” katanya.
Setelah membulatkan tekad, dengan uang tabungannya, Eklin membeli boneka yang ia beri nama Dodi–akronim dari Dongeng Damai–pada akhir tahun 2017. Boneka itu ia pakai untuk menutupi rasa tidak percaya dirinya di hadapan orang-orang saat mendongeng. “Awalnya saya bahkan tidak tahu harus menggunakan Dodi seperti apa, harus mendongeng bagaimana, tetapi sekali lagi, karena niat untuk menegakkan perdamaian, saya belajar. Saya buka YouTube, saya belajar bagaimana menggunakan boneka dari YouTube,” katanya.
Bukan sekadar mendongeng biasa, Eklin menggunakan ventrilokuisme sebagai metode mendongengnya. Ventrilokuisme adalah seni berbicara tanpa menggerakkan bibir. Teknik ini mengandalkan suara perut untuk berbicara. “Saya belajar dari YouTube selama dua minggu. Saya langsung belajar mendongeng dan ketika saya merasa saya sudah siap, saya langsung turun keliling Maluku,” katanya.
Sempat Ditolak
Awal Januari 2018 menjadi titik mula Eklin berdongeng mengelilingi Maluku. Tempat pertama yang ia sambangi adalah sebuah desa di Pulau Seram yang dihuni oleh salah satu suku penganut keyakinan lokal. Namun waktu itu, ia ditolak oleh masyarakat setempat. “Karena saya calon pendeta, mereka mengira saya hendak melakukan Kristenisasi. Saya ditolak,” katanya.
Namun, penolakan itu tidak menyurutkan tekad Eklin. Ia pun bergerak ke wilayah lain yang juga dihuni oleh masyarakat adat penganut keyakinan lokal. Di tempat kedua ini, ia diterima dengan tangan terbuka. “Di sini, saya dibolehkan untuk mendongeng di tempat di mana mereka biasanya melakukan upacara adat dan upacara keagamaan. Kalau ditanya kenapa saya memulai mendongeng di daerah-daerah agama suku, bagi saya, saya harus memulainya di daerah saudara kita yang minoritas,” katanya.
Setelah itu, Eklin mulai memberanikan diri menyambangi daerah-daerah perbatasan konflik, termasuk Saleman dan Horale di Pulau Seram–dua daerah tempat terjadinya konflik pada 1999 hingga 2000-an awal. Dengan dongeng yang ia bawakan, Eklin mampu menyatukan anak-anak dari Saleman dan Horale.
“Orang-orang tua mereka yang sudah lama tidak bertemu karena konflik berkepanjangan itu, juga akhirnya bisa bertemu lagi hanya karena dongeng. Mereka berpelukan, mereka bisa akur dan bahagia. Dari situ saya semakin yakin bahwa dongeng bisa membangun bonding (ikatan), kedekatan, dan membawa kebahagiaan,” tutur Eklin.
Mendongeng di Mimbar Gereja
Setelah menyambangi banyak tempat di Maluku, Eklin mulai membagikan aktivitasnya di media sosial. Langkah ini membuat pergerakannya mendapat perhatian dari berbagai pihak.
“Akhirnya ketika saya hendak berkunjung untuk mendongeng, ada fasilitas yang dimudahkan. Misalnya polisi dan tentara memfasilitasi masjid, gereja, vihara, klenteng, jadi saya tinggal kunjungi tempat yang sudah disediakan. Seperti saat bulan puasa Ramadhan, saya diundang ke masjid untuk mendongeng,” katanya.
Selain di Maluku dan Maluku Utara, Eklin juga pernah mendongeng di Makassar, Mamuju, Majene, Jakarta, Yogyakarta, dan beberapa daerah yang mengalami bencana alam. Tidak hanya soal perdamaian, dalam dongengnya ia juga menyisipkan pesan-pesan moral seperti merawat cinta kasih kepada sesama makhluk dan alam semesta.
Pengalamannya selama mendongeng ia tuliskan dalam sebuah buku berjudul “Mari Belajar Mendongeng Kisah-Kisah Damai”. Dalam buku itu ia menyisipkan belasan naskah dongeng karangannya yang pernah ia bawakan selama berkeliling Maluku.
Gerakan Dongeng Damai tidak berhenti begitu saja ketika Eklin telah ditahbiskan sebagai pendeta pada 2020. Ia tetap membawakan dongeng ventrilokuisme dengan boneka Dodi di mimbar gereja. “Setiap ibadah Minggu atau setiap berkhotbah, saya tetap bawakan dongeng. Karena anak-anak juga ada di situ. Dengan metode itu, orang tua mengerti, sekaligus anak-anak juga mengerti,” katanya.
Jalan Merawat Perdamaian
Merawat perdamaian dapat ditempuh dengan jalan apapun. Jika Eklin melakoninya dengan cara berdongeng menggunakan teknik ventrilokuisme, teman-temannya di Komunitas JMP melakukannya dengan cara dan kemampuan masing-masing. Itu pula yang ia pesankan kepada seluruh masyarakat di berbagai penjuru Indonesia yang ingin menjaga perdamaian dan mencegah konflik.
Pada akhirnya, merawat perdamaian adalah tugas kita bersama, demi menciptakan kehidupan yang damai, yang merupakan prasyarat bagi implementasi prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainability). Perdamaian adalah tonggak penting untuk menciptakan kesejahteraan semua orang.
“Untuk itu, pemerintah jangan hanya melihat hal-hal besar. Kami yang di akar rumput, yang melakukan hal-hal kecil kayak begini, sering kali tidak dipandang. Alangkah baiknya, misalnya, pemerintah melihat kekuatan anak-anak muda di akar rumput, melihat gerakan-gerakan yang bisa merawat perdamaian, dan topanglah itu,” kata Eklin.
Aktivitas Eklin dalam merajut perdamaian dengan berdongeng dapat disimak melalui akun Instagram @kak_eklin.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.