Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Beriklan
  • GNA Internasional
  • Jadi Member
  • Log In
Primary Menu
  • Terbaru
  • GNA Knowledge Hub
  • Topik
  • Wilayah
    • Dunia
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Infografik
  • Video
  • Opini
  • Akar Rumput
  • Muda
  • Siaran Pers
  • Corporate Sustainability
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

UU KIA: Keajekan dan Ancaman Diskriminasi terhadap Pekerja Perempuan

UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan telah disahkan. Sayangnya, UU ini masih menunjukkan keajekan dalam beberapa hal.
Oleh Abul Muamar
18 Juli 2024
seorang perempuan dengan kemeja putih menggendong seorang bayi dengan baju biru

Foto: Jonathan Borba di Unsplash.

Pengasuhan merupakan hal fundamental dalam keluarga. Namun, bagi pekerja, pengasuhan seringkali menjadi hal yang sulit dilakukan karena terbentur dengan pekerjaan yang menuntut. Terkait hal ini, DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan atau UU KIA pada 4 Juni 2024. Sejak awal, RUU ini dimaksudkan untuk mendorong peran pengasuhan bersama antara ibu dan ayah serta meningkatkan hak maternitas pekerja perempuan. Namun sayangnya, setelah disahkan, UU ini masih menunjukkan keajekan dalam beberapa hal.

Kemajuan dalam UU KIA

UU KIA mengalami perubahan judul dari rancangan sebelumnya, dengan penambahan frasa “Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan” di belakang. Terdiri atas 9 bab dan 46 pasal, UU ini mengatur tentang hak-hak ibu dan anak, tugas dan wewenang pemerintah pusat dan daerah, penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak, data dan informasi terkait ibu dan anak, pendanaan, dan partisipasi masyarakat. “Seribu hari pertama kehidupan” yang dimaksud dalam UU ini dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai dengan anak berusia dua tahun.

Terdapat beberapa poin penting dalam UU ini yang menunjukkan kemajuan dalam mendukung pekerja perempuan dan isu kesetaraan gender. Salah satunya, setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling singkat 3 bulan pertama dan dapat mengajukan cuti tambahan paling lama 3 bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus.

Selama masa cutinya, ibu pekerja berhak mendapatkan upah secara penuh (100%) untuk tiga bulan pertama dan bulan keempat, serta 75% upah untuk bulan kelima dan keenam. UU ini juga menjamin hak-hak ibu dan anak seperti layanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau, jaminan gizi, pendampingan hukum dan psikologi, serta sarana dan prasarana yang layak.

Keajekan

Namun, beberapa pasal dalam UU ini menunjukkan keajekan dari aturan yang telah ada sebelumnya. Salah satunya terkait cuti pendampingan bagi suami (cuti ayah) yang tetap diberikan 2 hari selama masa persalinan, dengan tambahan maksimal 3 hari berikutnya sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja. Sebelumnya, dalam draft RUU KIA, cuti ayah diwacanakan selama 40 hari. 

Aturan soal cuti ayah yang ajek membuat UU ini tidak sesuai dengan tujuan awalnya terkait peran pengasuhan bersama. Dengan cuti yang hanya 2 hari, bagaimana mendorong ayah lebih terlibat dalam peran pengasuhan?

Selain itu, hak cuti melahirkan bagi ibu pekerja juga tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. Sebab, ibu pekerja yang dapat mengajukan cuti selama 6 bulan hanyalah ibu melahirkan yang mengalami “kondisi khusus” yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. “Kondisi khusus” yang dimaksud adalah ibu yang mengalami masalah atau gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi pascapersalinan; dan/atau anak yang dilahirkan mengalami masalah/gangguan kesehatan dan/atau komplikasi. Artinya, cuti 6 bulan tidak berlaku secara umum bagi semua ibu pekerja sebagaimana yang diwacanakan dalam rancangan.

Aturan lainnya yang juga “jalan di tempat” adalah masa cuti ibu pekerja yang mengalami keguguran yang tetap 1,5 bulan, dan masa cuti pendampingan suami yang tetap 2 hari ketika istri mengalami keguguran. Selain itu, UU ini juga masih belum mengakomodir perlindungan hak maternitas bagi pekerja perempuan di sektor informal, yang jumlahnya dominan di Indonesia; serta tidak menyinggung soal beban atau dampak yang akan ditanggung oleh pemberi kerja atau perusahaan ketika memenuhi hak maternitas pekerjanya.

Ancaman Diskriminasi terhadap Pekerja Perempuan

Selain itu, UU ini juga berpotensi menimbulkan diskriminasi terhadap pekerja perempuan seperti yang selama ini kerap terjadi. Meski terdapat pasal-pasal yang mengatur soal perlindungan dan bantuan hukum bagi pekerja perempuan, termasuk di antaranya tidak dapat diberhentikan karena mengambil cuti melahirkan, UU ini menimbulkan kekhawatiran soal pemberi kerja yang enggan merekrut pekerja perempuan dengan adanya aturan ini.

Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar mengingat selama ini, UU Ketenagakerjaan juga telah mengatur perlindungan yang sama, namun kenyataannya masih terdapat diskriminasi terhadap pekerja perempuan, termasuk dalam hal perekrutan, besaran upah, promosi jabatan, hingga larangan cuti hamil. Hal ini turut diafirmasi oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan ketimpangan yang signifikan dalam tingkat partisipasi angkatan kerja. Data terakhir pada Mei 2024, tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki mencapai 84,26 persen, sedangkan perempuan hanya 54,52 persen. 

Oleh karena itu, perlu ada mekanisme pengawasan yang ketat dan evaluasi yang transparan terhadap implementasi regulasi ini, serta pemberian sanksi yang tegas terhadap segala bentuk pelanggaran.

“Soal hak cuti ini tidak mudah dilaksanakan karena UU Ketenagakerjaan akan lebih menjadi rujukan oleh pemberi kerja. Juga memungkinkan risiko diskriminasi tidak langsung ketika pemberi kerja lebih memilih pekerja laki-laki dengan alasan mengurangi beban pelaksanaan UU (KIA), dan daya jangkau pengawasannya lemah,” kata Tiasri Wiandani, Komisioner Komnas Perempuan.

Regulasi yang Lebih Tegas

Sekali lagi, pengasuhan sangat krusial dalam keluarga, terutama bagi tumbuh kembang anak. Mendukung pemenuhan hak maternitas pekerja perempuan, misalnya dengan memberikan “waktu tenang” yang memadai untuk memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan tanpa adanya gangguan atau tekanan pekerjaan, merupakan salah satu langkah fundamental untuk mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak. Mendorong peran pengasuhan bersama, termasuk dengan menyediakan cuti ayah yang memadai, juga tak kalah pentingnya untuk mencapai tujuan ini. Dan pada akhirnya, mewujudkan ini semua sama artinya dengan mendukung terciptanya pekerjaan yang layak. Oleh karena itu, demi menopang itu semua, pemerintah mesti melahirkan regulasi yang lebih tegas, adil, dan inklusif tanpa meninggalkan seorang pun di belakang.

Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.

Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Jadi Member Sekarang

Abul Muamar
Managing Editor at Green Network Asia | Website |  + postsBio

Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah alumnus Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor untuk beberapa media tingkat nasional di Indonesia. Ia juga adalah penulis, editor, dan penerjemah, dengan minat khusus pada isu-isu sosial-ekonomi dan lingkungan.

  • Abul Muamar
    https://greennetwork.id/author/abulmuamar/
    Celako Kumali, Kearifan Lokal Suku Serawai untuk Pertanian Berkelanjutan
  • Abul Muamar
    https://greennetwork.id/author/abulmuamar/
    Ironi Raja Ampat: Pengakuan Ganda dari UNESCO dan Kerusakan Lingkungan
  • Abul Muamar
    https://greennetwork.id/author/abulmuamar/
    Desakan untuk Mewujudkan Reforma Agraria Sejati
  • Abul Muamar
    https://greennetwork.id/author/abulmuamar/
    Mewujudkan Layanan Kesehatan yang Lebih Aman untuk Bayi dan Anak

Continue Reading

Sebelumnya: FAO Terbitkan Pedoman Akuakultur Berkelanjutan
Berikutnya: Meningkatkan Partisipasi Difabel Muda dalam Pengambilan Keputusan

Lihat Konten GNA Lainnya

Kursi roda anak berukuran kecil di samping deretan kursi kayu, dengan latar belakang papan tulis hitam dan lantai berkarpet berwarna cerah. Mengatasi Tantangan yang Dihadapi Anak dengan Disabilitas
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Mengatasi Tantangan yang Dihadapi Anak dengan Disabilitas

Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
15 Oktober 2025
orang-orang menunggang kuda menyusuri aliran sungai Bagaimana Ongi River Movement di Mongolia Melindungi Manusia dan Lingkungan
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Bagaimana Ongi River Movement di Mongolia Melindungi Manusia dan Lingkungan

Oleh Dinda Rahmania
15 Oktober 2025
dua buah kakao berwarna kuning di batang pohon Bagaimana Kerja Sama Indonesia-Prancis dalam Memperkuat Industri Kakao
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Bagaimana Kerja Sama Indonesia-Prancis dalam Memperkuat Industri Kakao

Oleh Abul Muamar
14 Oktober 2025
Beberapa orang berada di dalam air untuk memasang kerangka jaring persegi berwarna hijau, sementara lainnya berdiri di pematang tambak dengan pagar bambu sederhana di bagian belakang. Rehabilitasi Mangrove Berbasis Komunitas dengan Silvofishery
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Rehabilitasi Mangrove Berbasis Komunitas dengan Silvofishery

Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
13 Oktober 2025
Dua perempuan menampilkan tarian Bali di hadapan penonton. Menghidupkan Kembali Warisan Budaya Bersama di Asia Tenggara
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Menghidupkan Kembali Warisan Budaya Bersama di Asia Tenggara

Oleh Attiatul Noor
13 Oktober 2025
perempuan yang duduk di batang pohon besar, laki-laki berdiri di sampingnya dan dikelilingi rerumputan; keduanya mengenakan pakaian tradisional Papua Deklarasi Sira: Memperjuangkan Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Deklarasi Sira: Memperjuangkan Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat

Oleh Seftyana Khairunisa
10 Oktober 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Laporan Akar Rumput GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia