‘Lampu Hijau’ Aborsi untuk Korban Pemerkosaan
Bagi banyak orang, kehamilan mungkin merupakan suatu hal yang dinanti-nanti. Namun, kehamilan juga dapat menjadi sesuatu yang tidak diinginkan, terutama oleh perempuan yang menjadi korban pemerkosaan atau kekerasan seksual. Selama ini, para korban pemerkosaan seringkali menanggung penderitaan karena harus melahirkan anak yang tidak mereka kehendaki. Terkait hal ini, pemerintah telah menerbitkan PP Kesehatan 2024 yang memberikan “lampu hijau” aborsi untuk korban pemerkosaan dan darurat medis.
Jerat Hukum Korban Pemerkosaan
Kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan di Indonesia masih tinggi dari tahun ke tahun. Pada tahun 2023, Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan seksual sebanyak 2.078, dengan 143 kasus di antaranya berupa pemerkosaan. Sementara itu, Kementerian Sosial mencatat sebanyak 780 anak perempuan yang hamil akibat kekerasan seksual.
Selama ini, korban pemerkosaan atau kekerasan seksual seringkali terhimpit dari berbagai sisi. Selain mendapat stigma negatif di masyarakat, korban pemerkosaan juga tidak leluasa ketika hendak melakukan aborsi atas bayi yang mereka kandung. Rumitnya prosedur yang harus dilewati untuk mendapatkan izin serta ketatnya regulasi yang mengatur soal aborsi merupakan hambatan signifikan yang kerap dihadapi oleh korban. Bahkan, ada pula korban pemerkosaan yang justru terjerat hukum karena menggugurkan kandungannya.
Kasus yang dialami oleh seorang remaja perempuan korban pemerkosaan di Jambi pada tahun 2018 adalah salah satu contoh. Alih-alih dilindungi, remaja perempuan tersebut justru dijatuhi hukuman pidana enam bulan penjara atas dakwaan aborsi. Selain itu, ada pula anak perempuan korban pemerkosaan di Banyumas yang diminta untuk mengundurkan diri dari sekolah karena hamil.
Di banyak tempat, tekanan sosial yang berasal dari norma-norma budaya sering melarang korban pemerkosaan untuk melakukan aborsi. Di daerah-daerah terpencil, aborsi seringkali tidak dapat dilakukan lantaran keterbatasan fasilitas kesehatan.
Aborsi untuk Korban Pemerkosaan
Pada 30 Juli 2024, Presiden menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP Kesehatan) tentang Aturan Pelaksanaan UU Kesehatan (UU Nomor 17 Tahun 2023). Peraturan ini mempertegas aturan yang sama terkait aborsi yang tertuang dalam PP tentang Kesehatan Reproduksi. Salah satu poin penting dalam PP Kesehatan adalah pengecualian larangan aborsi bagi korban pemerkosaan atau korban kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan, dan perempuan hamil dengan indikasi kedaruratan medis. Dalam peraturan tersebut, aborsi untuk korban pemerkosaan dapat dilakukan tanpa persetujuan suami.
Untuk mendorong aborsi yang aman, Pasal 119 menyatakan bahwa aborsi hanya dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut yang memenuhi sumber daya kesehatan sesuai standar yang ditetapkan menteri dan hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan yang kompeten dan berwenang. Pelayanan aborsi juga harus melibatkan pendampingan dan konseling sebelum dan setelah aborsi.
Namun sayangnya, peraturan ini dinilai tetap akan menyulitkan bagi korban pemerkosaan untuk memperoleh izin aborsi karena syarat yang harus dipenuhi. Syarat tersebut adalah keterangan dari penyidik kepolisian mengenai tindakan pemerkosaan yang dialami korban dan surat keterangan dokter mengenai usia kehamilan. Dua syarat ini berarti mengharuskan korban pemerkosaan untuk membuat laporan terlebih dahulu ke polisi dan mengurus surat ke dokter, yang berpotensi menyebabkan korban tidak dapat melakukan aborsi karena melebihi batas usia kehamilan yang ditetapkan, yakni 14 belas minggu.
Mengatasi Tantangan
Aborsi pada korban pemerkosaan mungkin akan tetap menjadi suatu hal yang ditentang secara moral oleh banyak kalangan, salah satunya terkait hak hidup anak. Kurangnya perspektif yang berpihak kepada korban merupakan salah satu kendala utama. Meskipun lampu hijau aturan aborsi ini penting, korban pemerkosaan dan kekerasan seksual masih membutuhkan dukungan yang lebih bermakna dari masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada mekanisme yang lebih jelas dan komprehensif yang dapat menjembatani pertentangan semacam ini.
Meningkatkan cakupan dan kualitas pendidikan gender bagi semua merupakan satu langkah penting untuk mengatasi hal ini, dan perlu dibarengi dengan upaya untuk mengatasi stigma dalam memandang kasus kekerasan seksual dan pilihan untuk melakukan aborsi yang ditempuh oleh korban. Sebab, kehamilan korban pemerkosaan merupakan masalah kompleks, yang tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik dan mental korban, melainkan juga memiliki implikasi sosial-ekonomi yang luas.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.