Menjalani Ramadan dengan Lebih Ramah Lingkungan
Ramadan adalah bulan di mana umat Islam menjalankan ibadah puasa sebagai bentuk pengendalian diri untuk meningkatkan spiritualitas dan meninggalkan segala bentuk hawa nafsu. Jika mengikuti logika tersebut, mestinya produksi dan konsumsi makanan dan hal-hal lainnya menjadi lebih sedikit. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: di bulan Ramadan, produksi dan konsumsi semakin meningkat dalam hal makanan, energi, dan penggunaan sumber daya lainnya. Agar dapat berkontribusi terhadap keberlanjutan alam, penting bagi kita untuk menjalani Ramadan yang ramah lingkungan.
Perilaku Boros di Bulan Ramadan
Pada bulan Ramadan, orang-orang pada umumnya menjadi lebih “royal” dalam banyak hal, mulai dari belanja makanan hingga hal-hal lain seperti penggunaan transportasi yang lebih banyak dan penggunaan lebih banyak air. Di berbagai tempat dan tradisi, banyak orang menyiapkan makanan beraneka ragam dalam jumlah banyak, terutama untuk menu berbuka puasa.
Sebuah penelitian pada tahun 2023 mengungkap bahwa mayoritas masyarakat Indonesia (84%) mengaku pengeluarannya meningkat saat bulan Ramadan dibanding pada bulan-bulan lainnya. Bahkan, 60% masyarakat menyatakan bahwa pengeluaran mereka lebih tinggi dibanding saat Ramadan di masa-masa Pandemi COVID-19 (2020-2022). Sebanyak 71% cenderung membelanjakan uangnya untuk membeli makanan dan minuman.
Perilaku boros dalam bulan Ramadan seringkali berujung pada peningkatan jumlah sampah, terutama sampah makanan dari makanan yang tersisa dan tidak habis dimakan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, timbulan sampah di bulan Ramadan naik 20%, dan mayoritas merupakan sampah makanan. Di Surabaya, sebagai contoh, jumlah sampah meningkat 100-200 ton pada bulan Ramadan dan terus meningkat hingga 400-500 ton saat menjelang Idul Fitri.
Mengurangi Sampah Makanan di Bulan Ramadan
Mengurangi sampah di bulan Ramadan, terutama sampah makanan, adalah hal penting yang membutuhkan kemauan bersama dan tindakan nyata dari semua pihak. Sebuah panduan yang diterbitkan oleh Bahu Trust dan Greenpeace memberikan sejumlah tips untuk mengurangi sampah makanan di bulan Ramadan. Berikut di antaranya:
- Hindari membeli berlebihan. Ramadan bukan mengenai berapa banyak makanan yang dapat Anda makan pada saat berbuka puasa atau saat sahur. Makanlah dengan sederhana. Selain baik untuk lingkungan, makan sederhana juga baik untuk berbagai hal lainnya, termasuk kesehatan diri.
- Berhati-hati dengan teknik pemasaran atau iklan makanan yang ditujukan untuk mempengaruhi Anda agar membeli lebih dari yang Anda butuhkan.
- Kurangi konsumsi daging. Biaya dan emisi yang dihasilkan dalam produksi daging sangat tinggi dalam rantai makanan. Semakin banyak kita makan daging, semakin banyak potensi kerusakan yang kita lakukan terhadap lingkungan.
- Utamakan makanan lokal. Makanan yang diproduksi secara lokal pada umumnya lebih ramah lingkungan. Dengan memilih makanan lokal, Anda berarti juga mendukung bisnis lokal.
- Gunakan sisa makanan saat berbuka puasa untuk sahur, dan sisa makanan sahur untuk berbuka keesokan harinya.
- Berbagi makanan. Selain menyelamatkan makanan agar tidak terbuang, berbagi makanan juga baik untuk meningkatkan amal baik Anda. Berbagilah kepada orang yang membutuhkan, semisal tetangga, musafir, perantau, atau siapa saja. Jika tidak ada, Anda dapat berbagi melalui bank makanan terdekat yang dapat membantu Anda menyalurkan makanan.
- Gunakan kemasan atau wadah ramah lingkungan saat berdonasi makanan. Berbagi makanan saat Ramadan memang baik, namun tetap perlu memperhatikan kemasan yang akan digunakan. Hindari penggunaan kemasan/wadah atau alat makan berbahan plastik sekali pakai atau bahan-bahan lainnya yang sulit terurai dan utamakan pemakaian kemasan berkelanjutan.
Ramadan Ramah Lingkungan: Tak Sekadar Soal Sampah Makanan
Ramadan ramah lingkungan bukan hanya tentang sampah makanan, tetapi juga mencakup banyak aspek lainnya, termasuk soal penggunaan air. Panduan tersebut mengingatkan bahwa saat kita menahan diri dari makan dan minum selama waktu berpuasa, seringkali tanpa disadari kita masih menggunakan air secara berlebihan, baik itu untuk mempersiapkan makanan, mencuci, atau bahkan saat berwudhu. Menggunakan air secukupnya merupakan hal penting mengingat air merupakan sumber daya terbatas yang berada di bawah tekanan di berbagai tempat. Boros dalam menggunakan air dapat berdampak buruk bagi lingkungan, yang pada gilirannya juga akan berdampak pada ekonomi dan sosial.
Aspek penting lainnya menyangkut penggunaan transportasi, yang cenderung meningkat pada bulan Ramadan untuk berbagai urusan. Mengurangi sedapat mungkin penggunaan kendaraan berarti mengurangi polusi dan konsumsi energi yang akan mendukung Ramadan yang lebih ramah lingkungan. Konsumsi energi juga dapat dikurangi dengan meminimalkan penggunaan perangkat elektronik. Anda dapat mengalihkan kebiasaan berjam-jam berselancar di internet atau di media sosial dengan, misalnya, membaca buku fisik, menanam pohon, merawat tanaman, berjalan kaki, dan banyak aktivitas lainnya.
Selain itu, keputusan atau pertimbangan dalam bersedekah juga merupakan aspek penting yang dapat mendukung Ramadan ramah lingkungan. Anda bisa bersedekah melalui badan amal yang menjalankan proyek untuk membantu mengatasi degradasi lingkungan atau orang-orang yang terkena dampaknya. Atau, Anda juga bisa bersedekah dengan menanam pohon.
Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Diskusi Pojok Iklim “Ramadhan Minim Sampah”, mengatakan, “Bulan Ramadan bukan hanya momentum untuk mendekatkan diri pada Sang Khalik melalui ibadah dan memperkuat hubungan antarinsan melalui berbagi atau sedekah, melainkan juga momentum untuk menjalin hubungan baik dengan alam yang telah menyediakan berbagai kebutuhan manusia.”
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.