Tantangan yang Mesti Diatasi untuk Wujudkan Kesejahteraan Petani
Kehidupan kita sangat bergantung pada pertanian, dan petani adalah aktor utamanya. Dengan ketergantungan yang sedemikian kuat, rasanya mustahil membayangkan hidup dapat berjalan dengan normal jika tidak ada petani. Namun ironisnya, mayoritas petani di Indonesia, terutama petani kecil yang bekerja sebagai petani penggarap lahan milik orang lain, masih jauh dari kesejahteraan dan banyak yang hidup dalam kemiskinan. Oleh sebab itu, mewujudkan kesejahteraan petani, khususnya petani kecil, adalah sebuah urgensi demi kehidupan yang lebih adil.
Potret Petani di Indonesia
Hidup miskin dan serba-terbatas telah menjadi semacam “ciri khas” yang kerap melekat pada sosok-sosok petani kecil di Indonesia. Gambaran seorang petani yang kurus, dengan kulit legam karena terlalu sering terpapar langsung sinar matahari, membungkuk di sawah atau menuntun sepeda atau motor tua menuju dan pulang dari sawah garapannya, dapat dengan mudah ditemui di berbagai penjuru daerah.
Hasil Survei Pertanian Terintegrasi menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan bersih petani kecil hanya sekitar Rp5 juta per tahun. Ya, Anda tidak salah lihat ketika membaca “per tahun”. Yang menyedihkan, rendahnya pendapatan para petani ini bahkan terjadi ketika harga komoditas pangan hasil pertanian Indonesia menjadi yang tertinggi di kawasan ASEAN menurut laporan World Bank. Laporan tersebut bahkan menyebut bahwa harga eceran beras di Indonesia secara konsisten merupakan yang tertinggi di ASEAN selama satu dekade terakhir—28 persen lebih tinggi dibandingkan harga di Filipina, dan lebih dari dua kali lipat harga di Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Thailand.
Pada gilirannya, masalah ini kemudian menghasilkan “efek kupu-kupu”, dimana harga pangan yang tinggi berkontribusi terhadap kerawanan pangan dan malnutrisi di masyarakat.
Konflik Agraria, Perubahan Iklim, dan Tantangan Lainnya
Masalah pertanian yang cukup signifikan di Indonesia berkaitan dengan konflik agraria yang relatif sering terjadi di berbagai wilayah. Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria setidaknya terjadi 241 konflik agraria sepanjang tahun 2023 dengan pengambilalihan tanah pertanian seluas 638,2 hektare. Dari seluruh konflik yang terjadi, perusahaan perkebunan menjadi pihak yang paling banyak terlibat. Selain itu, KPA juga mencatat bahwa setidaknya 608 orang menjadi korban akibat dari tindakan represif saat konflik meletus.
Masalah lainnya adalah perubahan iklim, yang menyebabkan banyak petani kecil kehilangan pendapatan yang berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan mereka. Masalah ini berkaitan dengan degradasi lahan, termasuk akibat penggunaan pestisida dan pupuk sintetis yang mengandung bahan kimia berbahaya yang berdampak terhadap kesuburan tanah. Selain itu, harga jual hasil panen di tingkat petani seringkali sangat rendah dan tidak adil jika dibandingkan harga jual tingkat hilir (di pasar), terutama karena distribusi hasil pertanian yang panjang.
Lebih lanjut, rendahnya mekanisasi pertanian yang berkelanjutan juga turut berdampak terhadap produktivitas petani. Terbatasnya akses petani terhadap mesin-mesin pertanian modern, hingga kurangnya pengetahuan dan keterampilan petani dalam mengoperasikan dan merawat mesin, telah menjadi masalah utama menyangkut mekanisasi pertanian di Indonesia. Di samping itu, kurangnya akses pendanaan juga masih dihadapi oleh banyak petani di Indonesia. Masalah ini juga masih diperparah dengan distribusi pupuk bersubsidi yang tidak merata dan kerap tidak tepat sasaran.
Reforma Agraria Sejati untuk Kesejahteraan Petani
Setiap tanggal 24 September, Indonesia memperingati Hari Tani Nasional sebagai momentum untuk mengingatkan dan memperjuangkan hak-hak para petani, serta menyoroti pentingnya sektor pertanian bagi kehidupan masyarakat dan perekonomian negara.
Di antara berbagai tantangan yang ada, perubahan iklim yang menyebabkan peningkatan frekuensi cuaca ekstrem mungkin merupakan yang paling sulit serta tidak dapat diprediksi. Namun, masalah kesejahteraan petani setidaknya dapat diatasi dengan menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan tantangan-tantangan lain yang telah disebutkan di atas, terutama menyangkut konflik agraria melalui Reforma Agraria.
Sayangnya, sejauh ini, Reforma Agraria yang diusung oleh pemerintah, terutama melalui legalisasi aset dan redistribusi tanah, dinilai “palsu” dan dianggap hanya menguntungkan kelompok orang-orang terkaya dan berorientasi pada pasar ketimbang sungguh-sungguh meredistribusi tanah kepada petani dan masyarakat yang tak memiliki tanah.
Oleh karena itu, mengakhiri konflik agraria di Indonesia mesti ditempuh melalui konsep Reforma Agraria Sejati, yang mengusung tiga agenda pokok, yaitu meredistribusi tanah kepada kepada petani kecil dan masyarakat miskin lainnya yang tidak bertanah; menyelesaikan konflik agraria; dan melakukan pemberdayaan ekonomi pasca-redistribusi tanah.
Pada akhirnya, seluruh langkah yang ditempuh untuk mewujudkan kesejahteraan petani juga mesti berjalan beriringan dengan upaya untuk menjaga kesehatan lingkungan dan memperkuat ketahanan pangan melalui praktik-praktik pertanian yang lebih berkelanjutan.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.