Melindungi Buruh dari Gelombang PHK di Tengah Ancaman Krisis Ekonomi Global
Di berbagai tempat, banyak orang mencari nafkah dengan menjadi buruh. Jumlahnya mencapai jutaan orang dan terus bertambah seiring pertambahan penduduk angkatan dan usia kerja. Banyak dari mereka sangat menggantungkan keberlangsungan hidupnya pada pekerjaannya. Karenanya, gelombang PHK (pemutusan hubungan kerja) adalah momok bagi mereka.
Namun, gelombang PHK dapat menyapu buruh sewaktu-waktu. Di tengah ancaman krisis ekonomi global yang melanda dunia, potensi munculnya gelombang PHK menjadi semakin besar. Karenanya, diperlukan sistem ketenagakerjaan yang dapat memberikan jaminan perlindungan bagi mata pencarian buruh.
Pada 8 Maret 2023, Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global. Kemnaker menyebut bahwa peraturan ini bertujuan untuk mencegah meluasnya gelombang PHK di tengah ketidakpastian ekonomi ekonomi global, khususnya di industri padat karya berbasis ekspor karena penurunan permintaan.
Gelombang PHK
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 143,72 juta penduduk yang masuk kategori angkatan kerja, dengan 135,3 juta jiwa bekerja dan 8,43 juta jiwa menganggur. Tahun 2022, Kemnaker mencatat sebanyak 10.765 orang terkena PHK dalam kurun waktu Januari hingga September.
Pada tahun 2023, gelombang PHK semakin meningkat. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) memperkirakan sebanyak 1 juta pekerja terkena PHK pada 2023. Perkiraan tersebut didasarkan pada data pengambilan dana Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan, yang mencapai 919.071 pekerja. Industri padat karya menjadi sektor yang diperkirakan paling banyak melakukan PHK seiring dengan penurunan permintaan ekspor.
Permenaker 5 Tahun 2023
Kelangsungan bekerja dan kelangsungan berusaha menjadi alasan utama Kemnaker menerbitkan Permenaker 5 Tahun 2023. Dalam Permenaker tersebut, ada beberapa kriteria perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang boleh melakukan penyesuaian waktu kerja dan pengupahan, yaitu:
- Memiliki pekerja/buruh paling sedikit 200 orang.
- Persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi paling sedikit 15 %.
- Produksi bergantung pada permintaan pasar dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Ada lima industri padat karya berorientasi ekspor yang dapat mengikuti peraturan ini, yakni industri tekstil dan pakaian jadi, industri alas kaki, industri kulit dan barang kulit, industri furnitur, dan industri mainan anak. Dengan peraturan ini, industri yang dimaksud dapat menyesuaikan waktu kerja karyawan menjadi kurang dari 7 jam/hari untuk 6 hari kerja, atau kurang dari 8 jam/hari untuk 5 hari kerja. Untuk penyesuaian upah, industri dapat membayarkan 75% upah dari yang biasa diterima oleh pekerja. Penyesuaian harus dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara perusahaan dengan pekerja/buruh.
Namun, Permenaker ini menuai penolakan dari berbagai organisasi dan serikat pekerja/buruh. Permenaker tersebut dinilai berpotensi melanggengkan praktik pemotongan upah dan pemberian upah di bawah standar Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) serta rawan dimanfaatkan oleh perusahaan yang tidak sesuai ketentuan.
“Apalagi, berdasarkan pengamatan kami, peran dan tugas pengawas ketenagakerjaan sangat lemah selama ini. Kami yakin pengawas ketenagakerjaan tidak akan mampu mengidentifikasi perusahaan yang terdampak perubahan ekonomi global atau tidak,” kata Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar.
Cari Jalan yang Lebih Baik
Niat untuk melindungi mata pencarian buruh sekaligus keberlangsungan usaha memerlukan langkah yang terukur serta kebijakan yang adil. Kebijakan yang diambil mesti mempertimbangkan berbagai aspek secara menyeluruh, termasuk kesejahteraan buruh–misalnya daya beli mereka di tengah harga-harga kebutuhan yang cenderung naik. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan langkah-langkah potensial lain yang mungkin lebih efektif untuk mengurangi beban pengusaha tanpa harus mengorbankan upah buruh. Untuk itu, pemerintah perlu berdialog lebih intensif dengan berbagai aktor utama dan pakar dalam dunia tenaga kerja.
Pada akhirnya, menyelamatkan perekonomian mesti tetap dibarengi dengan niat dan upaya untuk mewujudkan pekerjaan yang layak, memberantas kemiskinan dan menghilangkan ketimpangan, serta mewujudkan kesehatan dan kesejahteraan untuk semua.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.