Pekerjaan yang Layak untuk Wartawan
Setiap hari, hampir setiap orang mengonsumsi berita—hasil kerja-kerja jurnalistik para pekerja media, termasuk wartawan atawa jurnalis. Meski kini media sosial dapat menjadi sumber informasi alternatif, tetap saja masyarakat membutuhkan informasi yang valid dan terkonfirmasi—yang umumnya dihasilkan oleh wartawan.
Namun, para wartawan, khususnya di Indonesia, secara umum belum merasakan apa yang dikenal dan dikonsepsikan sebagai pekerjaan yang layak (decent work). Berdasarkan pengalaman menjadi wartawan sejak 2013, saya menyaksikan dan merasakan kondisi yang kompleks, yang tidak hanya sebatas soal besaran upah.
Upah Rendah dan Amplop
“Kalau nggak diterima, nggak cukup gaji kita buat menutupi kebutuhan,” kata seorang kawan wartawan pada suatu hari bertahun-tahun lalu, ketika berbincang tentang amplop. Istilah “amplop” hanyalah metonimia dari uang. Kenyataannya, tidak selalu wartawan menerima pemberian uang yang dibungkus dengan amplop. Bahkan, tidak jarang wartawan menerima pemberian di luar uang.
Saya tidak ingat kalimat persisnya bagaimana, tapi kira-kira begitulah yang melekat di kepala saya. Pernyataan-pernyataan semacam itu pernah saya dengar beberapa kali, bukan hanya dari satu orang wartawan, tetapi banyak.
Wartawan terima amplop bahkan telah menjadi hal yang umum diketahui oleh masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh EH Kartanegara pada 1989 di berbagai kota di Indonesia menemukan bahwa dari 82 wartawan yang menjadi responden, 76 (92,68%) di antaranya mengakui bahwa mereka menerima amplop dalam kerja-kerja mereka. Penelitian itu membawa Kartanegara kepada kesimpulan bahwa amplop adalah “obat” untuk wartawan dalam mengatasi masalah kantong kering, yang kemudian ia angkat sebagai judul dalam artikelnya yang terbit di Kompas. Meski penelitian tersebut telah lama dilakukan, saya sangat yakin –dan menyaksikan sendiri– bahwa keadaannya hingga hari ini tak berubah. Bahkan, seandainya dilakukan penelitian serupa di masa sekarang, hasilnya bisa jadi akan lebih parah, seiring dengan banalitas media massa yang merebak semenjak munculnya media-media daring yang tidak kredibel dan tidak bertanggung jawab yang tumbuh dengan mudahnya.
Para wartawan (dalam konteks gerombolan) biasanya menerima pemberian uang atau dalam bentuk lainnya setelah mewawancarai pejabat atau “orang-orang berduit dan berkepentingan” lainnya saat menghadiri konferensi pers atau undangan peliputan entah dari institusi/badan pemerintah, perusahaan BUMN, organisasi/perusahaan swasta, institusi penegak hukum, dan lainnya. Ada pula pemberian di hari-hari tertentu yang teragenda seperti saat menjelang hari raya, tahun baru, media gathering di sebuah lembaga/institusi, coffee morning bulanan, dan lainnya. Itu semua belum termasuk pemberian yang lebih bersifat personal atau “eksklusif” seperti suap agar tidak memberitakan suatu hal (misalnya skandal seorang pejabat), atau “uang terima kasih” karena telah memberitakan “yang baik-baik” tentang suatu hal atau tentang seseorang.
Pada dasarnya, ada banyak faktor yang menyebabkan fenomena “terima amplop” tersebut di kalangan wartawan. Dua yang paling umum adalah 1) kurang atau tiadanya profesionalitas dan integritas dan 2) rendahnya kesejahteraan. Faktor pertama memungkinkan wartawan yang bekerja di media bonafit dengan gaji yang terbilang tinggi atau katakanlah lumayan, tetap menerima pemberian. Sedangkan faktor kedua –dan ini yang paling banyak terjadi– mendorong wartawan untuk menerima amplop untuk menambal upah mereka yang rendah. Bahkan, tidak sedikit pula wartawan yang memang mengandalkan “amplop” di lapangan sebagai satu-satunya sumber pendapatan mereka ketika perusahaan/kantor tempat mereka bekerja tidak mampu membayar gaji mereka. Kasus yang saya sebut terakhir ini banyak terjadi dalam beberapa tahun terakhir sejak berkembangnya digitalisasi, dimana media-media massa lawas (umumnya surat kabar) yang gagal/tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman seperti “hidup segan mati tak mau”; mereka tetap eksis meskipun tak lagi mampu membayar upah wartawan/pekerja mereka, dan membiarkan (bahkan mendorong) wartawan mereka untuk –ibarat ayam– nyeker di lapangan mencari uang sendiri.
Mengenai besaran upah, saya tidak bisa menyimpulkan berapa gaji rata-rata wartawan di Indonesia, namun beberapa kali saya mendengar bahwa ada yang gajinya di bawah Rp2 juta (pada rentang tahun 2013 hingga saat artikel ini ditulis–2023) dan bahkan ada yang di bawah Rp1 juta—tergantung perusahaan medianya.
Kondisi seperti ini tidak hanya berlangsung di Indonesia. Di beberapa belahan dunia, menurut Federasi Wartawan Internasional (IFJ), wartawan berjuang untuk mendapatkan gaji bulanan mereka, dan sebagian dari mereka harus bergantung pada “amplop” atau pemberian sebagai sumber nafkah.
Durasi dan Waktu Kerja yang Tidak Pasti
Selain upah rendah, tantangan lainnya yang hampir selalu dihadapi wartawan adalah durasi dan waktu kerja yang tidak pasti. Pada saat yang sama, wartawan umumnya memiliki beban/target kerja dengan waktu yang telah ditentukan dan tugas rutin yang telah terjadwal di perusahaan tempat mereka bekerja.
Sebagai contoh, wartawan yang bekerja pada perusahaan media arus utama yang terbit harian (cetak dan daring) umumnya memiliki target produksi antara 4-10 berita per hari. Dengan target tersebut, mereka secara terjadwal diminta untuk memberikan daftar berita/isu yang akan digarap (biasanya pada pagi hari), melaporkan apa saja yang telah digarap (biasanya pada siang hari), dan merampungkan dan mengirimkan naskah berita (biasanya pada siang hingga malam hari) yang dilengkapi dengan foto dan/atau video. Ketidakpastian durasi dan waktu kerja itu sering kali membuat wartawan—yang tentunya merupakan karyawan perusahaan yang mestinya tunduk pada undang-undang—harus siap siaga menjalankan tugas dalam 24 jam.
Menurut pengalaman saya selama lebih dari 9 tahun bekerja di berbagai media arus utama, wartawan umumnya akan menjalankan pekerjaan tambahan di luar target atau beban kerja yang telah ditentukan. Misalnya, seorang wartawan yang bekerja di media terbitan harian dengan beban kerja 4-10 berita per hari, terkadang masih harus melakukan peliputan pada malam hari ketika terjadi peristiwa dan merampungkan reportase secepatnya. Ada pula wartawan yang diperintahkan untuk mencari iklan atau advertorial untuk menambah pendapatan perusahaannya.
Di kalangan wartawan, ada anggapan bahwa wajar bila wartawan bekerja dan siap siaga selama 24 jam. Ini seringkali menjadi pembenaran untuk menormalisasi budaya kerja tanpa batas waktu bagi wartawan. Namun mirisnya, setidaknya berdasarkan pengalaman saya dan beberapa teman, tidak ada upah tambahan untuk kerja-kerja tambahan tersebut.
Di samping itu, masih umum ditemukan wartawan yang hanya mendapatkan jatah libur satu hari dalam sepekan, dengan durasi kerja yang seringkali melampaui 8 jam per hari–bahkan melampaui 12 jam per hari. Dengan kondisi seperti itu, apa yang orang-orang kenal sebagai work-life balance, bagi wartawan hal itu masih jauh dari angan-angan.
Rentan Kehilangan Pekerjaan
Tantangan berikutnya menyangkut perlindungan sosial dan jaminan penghidupan bagi wartawan. Seperti banyak pekerja di bidang atau sektor lain, wartawan juga tidak kebal dari ancaman kehilangan pendapatan dan pekerjaannya. Krisis ekonomi dan berbagai faktor lainnya dapat membuat wartawan kehilangan pekerjaan sewaktu-waktu.
Pandemi COVID-19 telah menunjukkan hal itu. Selama pandemi, banyak wartawan yang mengalami antara penundaan gaji selama berbulan-bulan hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Di Pakistan, misalnya, lebih dari 8.000 wartawan dan pekerja media lainnya kehilangan pekerjaan pada tahun 2020. Di Australia, 124 kantor redaksi media tutup sejak 2019, menyebabkan banyak wartawan menganggur. Saya tidak mengantongi data mengenai berapa banyak wartawan yang terkena PHK di Indonesia, namun yang pasti kondisinya menunjukkan tren serupa.
Perkembangan teknologi juga memberikan dampak yang tidak kalah serius, yang umumnya melanda media cetak yang gagal beradaptasi. Beberapa teman saya yang bekerja di surat kabar lokal di Medan dan Yogyakarta, misalnya, terpaksa kehilangan pekerjaan atau mengundurkan diri karena surat kabar mereka tidak lagi mampu membayar upah mereka.
Dampak Buruk
Upah rendah serta durasi dan waktu kerja yang tidak pasti, ditambah kerentanan akan kehilangan pekerjaan yang dihadapi wartawan, dapat dan telah memunculkan berbagai dampak buruk bagi dunia jurnalistik. Selain mengurangi atau menghilangkan profesionalitas dan integritas serta mengancam kesehatan wartawan, tiga faktor tersebut juga akan berpengaruh terhadap kualitas produk jurnalistik yang dihasilkan, yang pada gilirannya akan mengancam pendidikan publik.
Menjadi kian ironis jika mengingat para wartawan, dalam berbagai momentum, meliput dan memberitakan aksi buruh yang menuntut pekerjaan yang layak, sementara kondisi mereka sendiri tidak lebih baik dari buruh-buruh yang mereka beritakan.
Fenomena wartawan amplop yang berpangkal dari rendahnya kesejahteraan membuat citra profesi ini menjadi buruk. Durasi dan waktu kerja yang tidak pasti berpotensi membuat wartawan mengalami kelelahan akut (burn-out) sehingga tidak dapat bekerja dengan optimal.
Merumuskan Pekerjaan yang Layak untuk Wartawan
Pekerjaan yang layak untuk semua merupakan salah satu agenda global yang tertuang dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Sayangnya, di Indonesia, pembahasan mengenai pekerjaan yang layak untuk wartawan hampir tidak pernah terdengar. Wacana yang sering muncul masih berkutat di soal kemerdekaan pers, perlindungan bagi wartawan saat menjalankan tugas, bagaimana menghasilkan karya jurnalistik berkualitas, dan isu-isu lainnya yang tidak bersinggungan.
Mewujudkan pekerjaan yang layak untuk wartawan membutuhkan diskusi serius yang melibatkan para wartawan, pemilik/pebisnis perusahaan media, organisasi wartawan, dewan pers, legislator, dan semua pemangku kepentingan terkait. Merumuskan pekerjaan yang layak untuk wartawan, termasuk di antaranya menetapkan upah yang adil dan membuat batasan-batasan yang konkret perihal “wartawan harus siap bekerja 24 jam” adalah hal utama yang perlu dibahas.
Selain itu, merumuskan etika dan syarat pendirian dan operasional perusahaan pers/media secara komprehensif juga merupakan hal yang penting, tidak hanya untuk menjamin kesejahteraan dan perlindungan sosial bagi wartawan, tetapi juga untuk mencegah menjamurnya perusahaan media yang tidak bertanggung jawab.
“Kita membutuhkan undang-undang perburuhan yang adil dan juga upah yang adil, penghormatan terhadap hak-hak dasar pekerja, mengakhiri diskriminasi di antara pekerja media dan menciptakan kondisi kerja yang layak untuk semua,” ujar Presiden IFJ Dominique Pradalie saat peringatan Hari Dunia untuk Pekerjaan yang Layak, 7 Oktober 2022.
Lebih dari sekadar penyampai informasi serta penangkal misinformasi dan disinformasi, wartawan memiliki peran sebagai agen literasi dan perubahan melalui pendidikan publik. Karenanya, sudah sepantasnya wartawan mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menjalani hidup dengan aman dan sehat.
“Tidak akan ada media yang bebas dan independen kalau jurnalisnya hidup dalam kemiskinan, tanpa keamanan dan hak yang terpenuhi,” Dominique menambahkan.
Editor: Marlis Afridah
Publikasikan thought leadership dan wawasan Anda bersama Green Network Asia, pelajari Panduan Artikel Opini kami
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.