Komunitas Peduli Puspa Langka Bengkulu Melindungi Rafflesia dari Kepunahan
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Merujuk buku “Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia” yang diterbitkan LIPI Press, Indonesia memiliki 17 persen total spesies dunia. Setidaknya ada 8.157 jenis fauna vertebrata (mamalia, burung, herpetofauna, dan ikan) dan 1.900 jenis kupu-kupu, 80.000 jenis tumbuhan berspora, 40.000 jenis flora tumbuhan berbiji, 595 jenis lumut kerak, 2.197 jenis paku-pakuan, dan 1.500 jenis alga di Indonesia.
Dari berbagai macam keanekaragaman hayati tersebut, sebagian di antaranya terancam punah dan berstatus dilindungi. Akan tetapi, berstatus dilindungi tidak lantas membuat flora dan fauna tersebut aman dan terlestarikan. Salah satunya adalah bunga Rafflesia (puspa langka) yang banyak tumbuh di Bengkulu.
Di provinsi yang terkenal dengan julukan “Bumi Rafflesia” ini, setidaknya ada lima jenis Rafflesia yang tumbuh, yaitu Rafflesia Arnoldii (Padma Raksasa), Rafflesia Gadutensis, Rafflesia Hasseltii, Rafflesia Bengkuluensis, dan Rafflesia Kemumu. Namun sayangnya, puspa langka ini semakin terancam habitatnya akibat perusakan dan perambahan hutan.
Itulah yang mendorong terbentuknya Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) Bengkulu pada 18 Desember 2010. Komunitas ini memiliki misi melestarikan puspa langka di Bengkulu dan membuat ‘Bumi Rafflesia’ semakin dikenal luas. Tidak hanya Rafflesia, KPPL juga melindungi bunga-bunga langka lain yang juga terancam seperti anggrek pensil (Papilionanthe hookeriana) dan bunga kibut (bunga bangkai/Amorphophallus titanum).
Green Network mewawancarai Sofian Rafflesia, pendiri KPPL, pada Senin malam (31/10/2022). Kami berbincang seputar kondisi bunga langka hari ini dan bagaimana upaya yang semestinya dilakukan untuk melestarikannya.
Apa masalah utama menyangkut keberadaan bunga langka di Indonesia?
Kondisi bunga langka di Indonesia hari ini sangat mengkhawatirkan. Saya melihat sejauh ini pemerintah negara kita, baik pusat maupun daerah, belum menaruh perhatian dalam hal perlindungan flora langka yang tumbuh di kawasan hutan. Padahal flora-flora langka ini adalah suatu keistimewaan alam Indonesia, Bengkulu khususnya. Selama ini pengelolaan habitat Rafflesia hanya dilakukan secara sukarela, mandiri, swadaya, oleh kelompok-kelompok masyarakat yang peduli.
Sebagai perbandingan, di negara-negara tetangga seperti Malaysia yang juga memiliki Rafflesia, mereka sangat bangga sekali dengan flora mereka. Mereka melakukan promosi dengan gencar sekali. Di pusat-pusat informasi, di tempat-tempat publik seperti bandara dan lain-lain, mereka sajikan informasi tentang puspa langka Rafflesia, baik dalam rangka mendorong ekowisata mereka maupun sekadar informasi umum. Di Indonesia, sayangnya, tidak seperti itu, padahal Rafflesia salah satu dari tiga bunga nasional Indonesia.
Filipina juga. Mereka termasuk negara yang menaruh perhatian serius pada Rafflesia. Penelitian mereka terhadap penemuan Rafflesia sangat tinggi dan cepat. Padahal jumlah Rafflesia mereka masih kalah dibandingkan dengan di Indonesia. Di Indonesia, penelitian terhadap penemuan Rafflesia justru sangat minim. Dari segi pendanaan untuk penelitian maupun untuk publikasinya, masih sangat minim.
Kalau seperti ini terus, kemungkinan besar puspa langka ini hanya akan tinggal namanya saja. Keberadaannya di hutan akan punah. Apalagi kondisi kawasan hutan kita sudah tidak seperti dulu lagi. Banyak perambahan, pembalakan, penebangan. Deforestasi sangat mempengaruhi tumbuh kembang Rafflesia di habitat aslinya.
Di sisi lain, pembudidayaan Rafflesia di luar habitatnya tidak akan bisa menyamai pertumbuhannya di habitat asli. Habitat asli adalah rumah terbaik bagi tumbuh kembang Rafflesia. Dari sisi ukuran, waktu mekar yang lebih lama, keindahan dan kecantikannya, tetap akan jauh lebih cantik di habitat aslinya dibanding Rafflesia di luar habitat aslinya.
Bagaimana dengan kondisi bunga-bunga langka lain?
Anggrek pensil (Papilionanthe hookeriana) sekarang juga sangat langka. Di Bengkulu, adanya di Cagar Alam Danau Dendam Tak Sudah. Ini puspa yang diberi gelar oleh Ratu Inggris sebagai “Ratunya Anggrek” pada 1882. Anggrek ini memiliki ketahanan yang kuat. Ketika dipotong, anggrek ini bisa bertahan sampai 21 hari. Benar-benar langka bunga ini.
Dari jenis talas-talasan, ada Amorphophallus titanum atau bunga kibut–atau bunga bangkai orang biasa mengenalnya. Banyak penamaannya. Bunga ini dari keluarga talas-talasan. Ini juga langka. Sangat disayangkan banyak orang menyamakan bunga Rafflesia dengan bunga bangkai. Rafflesia itu dari kelompok tanaman parasit, sedangkan bunga bangkai masuk kelompok talas-talasan.
Saya agak marah kalau ada yang menyebut Rafflesia sebagai bunga bangkai. Rafflesia itu baunya tidak seperti bunga bangkai. Tidak bau busuk seperti bangkai. Baunya lebih mirip bau terasi, tapi itu pun hanya tercium dari jarak dekat. Jadi, hal itu juga menjadi salah satu tugas kami, KPPL, untuk meluruskan informasi di masyarakat mengenai perbedaan bunga ini.
Apa saja kegiatan atau program KPPL?
Kami membangun informasi dengan masyarakat lokal yang sering melihat bunga Rafflesia mekar di hutan. Kemudian, kami melakukan sosialisasi dan edukasi konservasi seputar puspa langka kepada masyarakat. Kami mendorong masyarakat terutama pemuda di daerah yang memiliki kawasan habitat Rafflesia untuk ikut melestarikan bunga Rafflesia.
Kami juga memberdayakan masyarakat lokal yang bersentuhan langsung dengan habitat Rafflesia sebagai pemandu ekowisata sekaligus pengelola kawasan. Di samping itu, kami melakukan pemetaan, pendataan, identifikasi dan eksplorasi kawasan habitat Rafflesia di hutan Bengkulu.
Selain itu, kami juga selalu melakukan kampanye konservasi “Save Rafflesia” pada Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional. Kami ikut berpartisipasi pada event-event atau pameran lingkungan sebagai sarana edukasi dan promosi. Dan kami juga melakukan pembibitan tanaman inang Rafflesia di kawasan hutan yang ada di Provinsi Bengkulu.
Selama 12 tahun, apa saja dampak yang telah KPPL capai?
Sejak KPPL terbentuk, alhamdulillah, sekarang sudah ada komunitas-komunitas peduli Rafflesia lain di 9 kabupaten di Bengkulu. Mereka memiliki kepengurusan masing-masing. Punya logo dan lambang sendiri. Punya sekretariat sendiri. Banyak dari mereka yang menjadi pemandu wisata lokal, membuka usaha di tempat wisata sembari menjaga Rafflesia.
Kami terus saling bersinergi, bekerja sama dalam tujuan yang sama, yaitu melindungi dan melestarikan Rafflesia. Kami saling berbagi informasi tentang Rafflesia, entah itu ketika ada bunga yang mekar atau penemuan jenis baru. Informasi itu dengan cepat kami dapatkan, kami datangi, kami himpun.
Sejauh ini, apa yang kami paling harapkan memang belum terwujud. Kami penginnya Bengkulu menjadi pusatnya Rafflesia, yang menyajikan segala informasi mengenai Rafflesia, mulai dari jenis, daur hidup, tumbuh kembang, dan lainnya. Ke depan kalau ada dukungan dari pemerintah, kami pasti bisa berbuat lebih dari ini. Tetapi kalau tetap tidak ada dukungan, kami akan tetap bergerak semampu kami.
Adakah kepercayaan atau mitos tentang Rafflesia yang diyakini oleh masyarakat setempat?
Dalam perjalanan kami melakukan ekspedisi ke hutan-hutan dan bertemu dengan masyarakat setempat, memang ada beberapa mitos tentang Rafflesia ini. Bunga Rafflesia itu dianggap sebagai bunga yang dikeramatkan, yang disakralkan, ditakuti, dan malah ketika mekar harus dihindari.
Misalnya masyarakat Suku Rejang. Mereka menganggap bunga Rafflesia sangat misterius. Mereka punya sebutan sendiri untuk Rafflesia, yaitu ibeun sekedei. Sekedei itu artinya bokor. Bokor itu artinya tempat sirih atau bisa dibilang cawan.
Jadi, masyarakat Suku Rejang menamakannya sebagai Bokor Hantu atau Cawan Setan. Artinya Rafflesia dianggap sebagai bokor milik penunggu hutan. Penunggu hutan bisa diartikan sebagai makhluk mistis atau “hewan buas”, yang keberadaannya masih diakui oleh masyarakat Suku Rejang.
Kemudian ada Suku Serawai. Mereka menganggap bunga ini unik karena tidak ada batang, daun, dan akar, dan tumbuh tanpa musim. Mereka menamakannya bungin simpai, artinya bunga monyet. Mereka beranggapan bunga ini tumbuh dari sisa-sisa makanan monyet.
Dengan mitos-mitos itu, mereka selalu menghindari bunga ini. Hal ini bagus. Dalam arti, bunga itu dapat terjaga, tidak dirusak. Karena pada dasarnya mitos di dua suku ini benang merahnya sama. Sama-sama melestarikan tumbuh kembang bunga ini. Kearifan lokal ini membuat bunga Rafflesia terjaga.
Bagaimana posisi puspa langka dalam isu kerusakan lingkungan?
Rafflesia ini nasibnya sama dengan harimau, gajah, orangutan. Sama-sama dilindungi UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ini yang pertama-tama harus diketahui dan dipahami. Tetapi kenyataannya, perlakuan terhadap puspa langka ini berbeda dengan perlakuan terhadap satwa liar.
Ketika puspa langka dirusak, dihancurkan habitatnya, sama sekali tidak ada tindakan yang tegas dari pihak -pihak yang berwenang. Beda halnya dengan ketika ada gajah mati dibunuh atau harimau dijerat, diracun, dan sebagainya, itu sangat cepat tindakannya. Ketika Rafflesia dirusak, bonggolnya dihancurkan, UU Nomor 5 Tahun 1990 tidak tegas ditegakkan.
Sering terjadi penghancuran bunga Rafflesia, perusakan habitat Rafflesia di titik-titik hutan yang ada di Bengkulu. Kasusnya hampir sama, pelaku-pelakunya tidak diketahui. Sangat susah untuk tahu siapa oknum-oknum yang melakukan perusakan.
Bagaimana KPPL mengarusutamakan pelestarian terhadap puspa langka?
Kami mencoba menularkan rasa kecintaan, rasa kepedulian, rasa memiliki atas Rafflesia kepada masyarakat, khususnya pemuda-pemuda yang berhubungan langsung dengan hutan. Ketika kami menjelajahi habitat Rafflesia di 9 kabupaten di Bengkulu, kami selalu berikan sosialisasi dan edukasi kepada mereka, “Ini aset kalian yang harus dilindungi. Kalau bukan kalian yang menjaganya, siapa lagi. Ini akan mendatangkan pengunjung ke daerah kalian.”
Alhamdulillah, perlahan-lahan, daerah mereka yang selama ini tidak pernah dikunjungi wisatawan, akhirnya jadi ramai. Kami menggencarkan kampanye, edukasi, dan sosialisasi mengenai puspa langka melalui media sosial, baik itu Instagram, Facebook, dan YouTube.
Begitu pun, tugas untuk melestarikan puspa langka ini belum selesai. Jalannya masih panjang.
Apa harapan Anda terkait pelestarian puspa langka?
Kepada para stakeholder yang terkait, pemerintah khususnya, UU nomor 5 tahun 1990 itu tolong untuk benar-benar diimplementasikan terhadap puspa langka ini. Itu paling penting. Jangan hanya hewan-hewan liar yang dilindungi, tetapi puspa langka ini juga harus diperhatikan.
Kepada Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, polisi hutan, ayolah, kita sama-sama menjaga. Ini bunga nasional, ini puspa langka, ini flora karismatik kita, tidak hanya di Indonesia tapi juga di mata dunia internasional. Berikan fokus perhatian terhadap flora langka ini. Kawasan hutan yang memiliki habitat Rafflesia, mulailah diperhatikan, dilindungi, dijaga, difasilitasi sarana dan prasarananya. Jangan malah dirambah.
Puspa langka akan membuat ekowisata hutan menjadi menarik. Ini pada akhirnya akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat setempat karena akan sangat potensial bagi sektor pariwisata. Dalam hal ini, Dinas-Dinas Pariwisata juga menjadi stakeholder penting yang seharusnya berperan aktif dalam upaya pelestarian puspa langka ini. Termasuk juga pengusaha-pengusaha di bidang pariwisata, baik itu biro perjalanan, industri perhotelan, dan semua industri yang beririsan.
Sudah selayaknya Indonesia menjadi pusat penelitian Rafflesia dunia, menjadi rumah bagi Rafflesia dunia, khususnya Bengkulu sebagai ‘Bumi Rafflesia’. Selama ini kami, KPPL, sudah banyak menerima tamu dari mancanegara, seperti dari Jepang, Rumania, dan Korea. Mereka rela datang jauh-jauh dua tahun berturut-turut hanya untuk menunggu Rafflesia mekar. Mereka membuat video time lapse untuk TV luar negeri. Artinya apa? Orang luar lebih peduli daripada kita sendiri.
Aktivitas Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) dapat diikuti melalui akun Instagram @kpplbengkulu dan kanal Youtube KPPL Bengkulu, serta blog Sofian Rafflesia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.