Fitriani Bintang Akaseh, ASN yang Bekerja Melampaui Kewajiban untuk Pemberdayaan Masyarakat
Perpustakaan merupakan sarana penting bagi upaya peningkatan literasi. Kehadiran perpustakaan di desa dengan koleksi buku-buku berkualitas dapat membantu mengatasi ketimpangan literasi yang ada di masyarakat sehingga akses terhadap bahan bacaan dan informasi dapat lebih merata. Dengan demikian, masyarakat di berbagai lapisan dapat memperoleh kesempatan yang sama untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan—modal berharga untuk meningkatkan taraf hidup.
Namun, peran perpustakaan tidak hanya tentang literasi, tetapi dapat melampaui itu. Salah satunya sebagai sarana untuk memberdayakan masyarakat. Hal itulah yang diupayakan oleh Fitriani Bintang Akaseh, seorang aparatur sipil negara (ASN) di Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Sehari-hari, di tengah kesibukannya sebagai ASN di Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD), ia mendedikasikan waktunya secara sukarela di luar kewajiban kerjanya untuk mengelola perpustakaan di Desa Labuan, Kecamatan Ratolindo, dan membantu memberdayakan sebuah usaha mikro di desa tersebut. Usaha mikro itu memproduksi bajabu, olahan ikan yang secara umum lebih dikenal sebagai abon.
Pada Senin, 27 Mei 2024, Green Network Asia mewawancarai Fitri—sapaan akrab Fitriani–dan kami berbincang tentang bagaimana upayanya mengelola perpustakaan hingga membina UMKM di desanya. Seperti menguras genangan banjir dengan sendok teh, apa yang dilakukan Fitri secara tidak langsung menjadi sebuah upaya kecil dalam membantu mengatasi masalah kemiskinan di Tojo Una-Una, salah satu kabupaten dengan angka kemiskinan yang masih relatif tinggi di Sulawesi Tengah berdasarkan data Badan Pusat Statistik.
Mengelola Perpustakaan Desa dengan Sukarela
Meski cukup sibuk dengan pekerjaannya di Dinas PMD Tojo Una-Una, Fitri masih sempat tergerak untuk mengelola dan mengembangkan perpustakaan di desanya. Seperti yang mungkin dapat Anda bayangkan, perpustakaan di desa tempat Fitri bermastautin adalah prototipe dari perpustakaan desa kebanyakan: mendompleng di salah satu sudut ruangan kantor kepala desa, koleksi bukunya masih dapat dihitung dengan mudah, dengan arus pengunjung yang mungkin tak lebih tinggi dari pengunjung pemakaman.
Pada awalnya, niatnya hanya satu: meningkatkan literasi bagi warga desa. Niat itu muncul karena ia melihat nirliterasi sebagai perkara serius yang harus diatasi. Di banyak tempat dan di berbagai kasus, nirliterasi telah membuat banyak orang tidak memperoleh hak-hak dasarnya. Syahdan, Juli 2022, tidak lama setelah ia dimutasi ke Dinas PMD Tojo Una-Una setelah 11 tahun bertugas di Dinas Pendidikan, ia lantas menawarkan diri secara sukarela untuk mengelola perpustakaan desa tanpa dibayar.
“Waktu itu Pak Kades kaget. Pak Kades bingung karena katanya tidak ada pos anggaran untuk honornya. Saya bilang, ‘Tidak usah Pak Kades pikirkan soal honor itu’. Saya minta dibuatkan SK saja,” tutur Fitri, menceritakan bagaimana awal mula ia menjadi pengelola perpustakaan desa.
Singkat cerita, setelah mendapatkan surat resmi sebagai pengelola, ia pun mendaftarkan perpustakaan desanya ke sistem Perpustakaan Nasional. Sejak saat itu, bantuan demi bantuan mulai berdatangan, mulai dari buku sebanyak 1.500 judul, tiga komputer, dua lemari buku, printer, perangkat wi-fi, dan televisi.
Seiring waktu, ia kemudian mengikuti sejumlah bimbingan teknis tentang pengelolaan perpustakaan desa, antara lain di Jakarta, Palu, Surabaya, dan Yogyakarta. Saat mengikuti kegiatan di Yogyakarta yang dihadiri oleh ribuan perwakilan perpustakaan desa dari seluruh Indonesia, Fitri mendapat inspirasi bahwa perpustakaan tidak hanya tentang menyediakan bahan bacaan dan memajukan literasi, tetapi juga dapat menjadi sarana untuk pemberdayaan masyarakat. Tidak muluk-muluk memang konsep yang ia peroleh, hanya sekadar memberdayakan usaha-usaha kecil, namun itu penting mengingat banyak pemilik usaha kecil di desanya yang merupakan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan sebagian dari mereka hidup dalam kemiskinan ekstrem.
“Sewaktu di Jogja itu ternyata ada pameran UMKM binaan perpustakaan desa yang jadi peserta. Saya baru tahu, sementara saya tidak bawa apa-apa waktu itu. Pikir saya cuma diundang untuk bimtek saja. Di acara itu saya melihat bermacam-macam UMKM. Ada yang penghasilannya sudah miliaran, kalau tidak salah dari Jawa, tapi saya lupa Jawa mana,” katanya.
Pulang dari Yogyakarta, Fitri menceritakan seluruh pelajaran yang ia peroleh kepada kepala desa. Hal itu membuat kepala desa yang semula skeptis dengan pengelolaan perpustakaan desa, perlahan-lahan mulai membuka diri dan mendukung langkah Fitri. Selanjutnya, perpustakaan desa yang tadinya hanya menggunakan salah satu ruangan di kantor kepala desa, pindah ke gedung Taman Pendidikan Alquran milik desa yang lama tidak digunakan. Kepala desa juga mendukung niat Fitri untuk menjadikan perpustakaan sebagai kendaraan untuk membina UMKM di desa mereka.
Memberdayakan UMKM di Desa
Sejak saat itu, Fitri mulai mendatangi satu per satu pemilik UMKM—usaha mikro, persisnya—yang ada di desanya. Ia mencoba meyakinkan mereka bahwa perpustakaan dapat membantu meningkatkan usaha mereka. Ia katakan pada mereka bahwa ia tidak memiliki kepentingan apa-apa selain untuk membantu meningkatkan usaha mereka. Namun, banyak yang menolak. Hanya ada satu usaha mikro yang mau menyambutnya. Pemiliknya bernama Tante Leni, begitu Fitri biasa memanggilnya, seorang janda yang hidup dalam kemiskinan selama bertahun-tahun, dan menjalani hidup dalam kehampaan setelah putrinya meninggal dunia.
“Sejauh ini baru satu, baru Tante Leni. Dia usahanya olahan ikan, bikin bajabu. Tante Leni ini lesu dan tidak bersemangat karena anaknya baru meninggal setahun sebelumnya,” kata Fitri.
Namun, Fitri tidak patah arang. Meskipun hanya ada satu usaha yang bersedia didampingi, ia tetap semangat. Dengan segala keterbatasan, ia membantu usaha kecil milik Tante Leni. Saban hari selepas pulang dari kantor, ia datang ke rumah Tante Leni untuk membantu perempuan itu dalam urusan pengemasan. Ia membuat kemasan bajabu Tante Leni menjadi lebih menarik, dan membantu menguruskan izin kelayakan produksi dan sertifikasi halal untuk meyakinkan calon pembeli. Tidak jarang, Fitri juga menyisihkan uang pribadinya untuk membantu mengembangkan usaha Tante Leni.
“Belakangan saya mendapatkan honor dari tugas saya sebagai pengelola perpustakaan. Honor itu saya pakai untuk membelikan stiker dan tinta printer. Jadi biar Tante Leni tidak perlu keluar biaya. Awalnya kemasannya tidak menarik. Tidak ada label halalnya, tidak ada izin kelayakan produksinya. Saya bikin kemasannya sekarang pakai standing pouch biar lebih menarik,” katanya.
Fitri juga membantu memasarkan produk bajabu Tante Leni ke tempat-tempat yang dapat ia jangkau, termasuk di perpustakaan dan kepada rekan-rekan sekantornya di Dinas PMD Tojo Una-Una. Seluruh keuntungan penjualan ia berikan kepada Tante Leni. Perlahan, produksi bajabu Tante Leni pun mulai meningkat.
“Tadinya, produksi hanya dua kali dalam sebulan. Sekarang bisa empat kali dalam seminggu. Bulan ini saja sudah laku lebih dari 100 pouch. Saya bantu jual itu bajabu Tante Leni di kantor. Dari Tante Leni jual Rp30 ribu, dijual kadang Rp40 ribu kadang Rp50 ribu. Tapi berapapun keuntungannya semua saya kasih semua kepada Tante Leni. Saya tidak ambil (keuntungan). Pernah kemarin diborong sama rombongan jemaah haji yang mau berangkat ke Mekkah,” tuturnya.
Kini, usaha bajabu Tante Leni mulai stabil dan kondisi keluarganya perlahan mulai membaik. Usaha Tante Leni telah berkembang menjadi kelompok usaha, dengan tiga orang yang membantunya, termasuk Fitri dalam urusan mengemas dan memasarkan.
“Saya dibilang ‘Mama Angkat’ sama Tante Leni. Kalau ada yang tanya, ‘Kenapa orang itu yang jual Tante Leni punya bajabu?’, Tante Leni akan bilang ‘Itu sa punya Mama Angkat’,” ujar Fitri, tertawa.
Ingin Membina Lebih Banyak UMKM
Dua tahun berjalan, perpustakaan di desa Fitri mulai berkembang meski belum signifikan. Pengunjung pun mulai berdatangan meski tidak dapat dikatakan selalu ramai.
“Alhamdulillah. Bukunya sekarang semakin banyak. Kalau kemarin bukunya cuma satu lemari, sekarang sudah tiga lemari. Yang berkunjung juga mulai banyak. Anak-anak yang datang ke Posyandu, anak-anak sekolah, sekarang juga mulai berkunjung ke perpustakaan desa. Kebetulan lokasi perpustakaan yang sekarang dekat dengan sekolah. Saya juga sampaikan kepada kepala sekolahnya dan kepada guru-gurunya, kalau mereka mau nyari referensi buku atau bahan ajar, atau mau pakai komputer, silakan pakai aja di perpustakaan itu,” kata Fitri.
Kini, Fitri semakin yakin bahwa perpustakaan dapat berperan lebih dari sekadar mendorong orang untuk membaca, termasuk dapat membantu memberdayakan UMKM di desa dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam berbagai hal. Seperti kata pustakawan India Shiyali Ramamrita Ranganathan, “library is growing organisms”, perpustakaan perlu berinovasi untuk membantu masyarakat menjadi berdaya. Namun, Fitri menyadari bahwa untuk mengoptimalkan peran perpustakaan, terutama dalam memberdayakan masyarakat di desa, diperlukan dukungan yang berarti dari semua pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat secara umum.
Bagaimanapun, apa yang telah dilakukan Fitri merupakan sebuah dedikasi yang penting dan berarti dari seorang ASN yang telah dengan sukarela melakukan kerja-kerja pemberdayaan masyarakat melampaui kewajibannya.
“Saya sebenarnya ingin membina lebih banyak UMKM yang ada di desa ini. Saya berharap, dengan apa yang saya lakukan bersama usaha Tante Leni, makin banyak UMKM di desa ini yang mau bekerja sama dengan perpustakaan. Perpustakaan akan memberikan pembinaan agar usaha mereka berkembang,” katanya.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.