Bogor Berkebun: Bagaimana Kota Dapat Menciptakan Ketahanan Pangan
Kota hari ini kerap identik sebagai wilayah yang padat dengan bangunan, lahan yang kian menyusut, dan pepohonan atau tanaman yang jarang. Penggambaran itu membuat kota sering dianggap tidak dapat menopang pertanian dan menciptakan ketahanan pangan.
Namun, beberapa kota di dunia bersiasat dan membuat strategi dengan pertanian perkotaan (urban farming). Salah satunya adalah Kota Bogor, Jawa Barat. Melalui gerakan ‘Bogor Berkebun’ yang diinisiasi sejak Desember 2020, Pemerintah Kota Bogor hendak mengadvokasi masyarakat bahwa kota dapat menciptakan ketahanan pangan melalui pertanian perkotaan.
Ketahanan Pangan dan Masalah Sampah Perkotaan
Bogor Berkebun merupakan gerakan pengembangan pertanian perkotaan yang meliputi budidaya, pengolahan, dan pemasaran, dengan memanfaatkan lahan dan sumberdaya yang tersedia. Inisiatif Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bogor ini melibatkan berbagai elemen masyarakat, baik individu maupun komunitas, yang bertujuan untuk mengembangkan pertanian perkotaan ramah lingkungan. Gerakan ini tidak hanya menghasilkan berbagai produk pertanian, tetapi juga peternakan dan perikanan.
Gerakan ini dipadukan dengan program pengelolaan sampah lingkungan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk perempuan, dengan memanfaatkan sampah dan lahan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) yang masih kosong atau tersisa.
Terdapat tiga kategori kelompok tani dalam program Bogor Berkebun, yakni Kelompok Wanita Tani (KWT), Kelompok Tani Dewasa (KTD), dan Kelompok Taruna Tani (KTT), dengan jumlah keseluruhan sebanyak 223 kelompok yang tersebar di berbagai kecamatan dan kelurahan. Selain kelompok tani, ada juga kelompok peternakan (21 kelompok), dan kelompok perikanan (121 kelompok), dengan puluhan tenaga pendamping dan penyuluh.
KWT Berkah MBR, yang berada di Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, merupakan salah satu percontohan dari program Bogor Berkebun. Kelompok ini memanfaatkan sampah dari TPST 3R Mutiara Bogor Raya untuk memproduksi pupuk organik dan larva BSF (black soldier fly).
Larva BSF yang dihasilkan digunakan untuk pangan hewan ternak yang dibudidayakan oleh kelompok itu sendiri, yakni lele dan burung puyuh. Sedangkan pupuk organik digunakan untuk perkebunan organik yang memanfaatkan lahan di area TPST 3R Mutiara.
Seiring waktu, Bogor Berkebun tidak hanya meningkatkan ketahanan pangan kota, tetapi juga menciptakan lapangan pekerjaan melalui urban farming berbasis budaya dan teknologi.
“Program ini tidak saja diikuti antusias oleh petani, tetapi juga generasi muda, mahasiswa atau pelajar yang mengisi kegiatan produktif selama masa pandemi. Tahapan pascapanen juga kami pikirkan dengan melibatkan pihak lain sebagai penyalur hasil panen, misalnya ada Toko Tani Indonesia, pasar tradisional, Asosiasi Pasar Tani dan mobil tani keliling,” kata Wali Kota Bogor, Bima Arya.
Regenerasi Penghasil Pangan
Setelah dua tahun berjalan, gerakan Bogor Berkebun mendapatkan penghargaan dari Milan Urban Food Policy Pact (MUFPP) saat Konferensi Internasional Urban20 (U20). Bogor Berkebun dinilai berhasil menciptakan ketahanan pangan mandiri masyarakat. Dan pada awal Januari 2023, Pemkot Bogor bergabung dengan MUFPP sebagai anggota yang ke-12 untuk memperkuat strategi pengembangan pangan.
Apa yang dilakukan Bogor kiranya dapat menjadi inspirasi atau contoh bagi pemerintah daerah lain di Indonesia untuk menciptakan atau meningkatkan inisiatif dalam mendukung ketahanan pangan sekaligus mengatasi persoalan lingkungan di perkotaan.
“Saya juga menekankan secara khusus pentingnya anak-anak muda menekuni urban farming karena penghasil pangan (food producer) perlu regenerasi, bukan saja posisi-posisi pemerintahan dan pengusaha, tetapi juga untuk memastikan ketahanan pangan yang kuat perlu ada regenerasi dan perlu kerja sama dengan anak-anak muda di berbagai kota,” imbuh Bima.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan Green Network Asia untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.