Menakar Dampak Pemensiunan Dini PLTU Batubara
Transisi energi telah menjadi salah satu agenda prioritas dunia dalam upaya mitigasi perubahan iklim, termasuk di Indonesia. Pada bidang ketenagalistrikan, salah satu langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah memensiunkan dini PLTU batubara. Namun, perubahan seringkali membawa dampak baik dan buruk dalam waktu bersamaan. Lalu, bagaimana dengan dampak ekonomi dan sosial dari pemensiunan dini PLTU batubara di Indonesia?
Penelitian Yayasan Indonesia CERAH bersama CELIOS memberikan gambaran jawaban atas pertanyaan itu.
Pemensiunan Dini PLTU Batubara
Penghentian operasi PLTU batubara merupakan hal fundamental dalam agenda transisi energi. Selama ini, PLTU batubara merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi karbon dunia. Sepanjang tahun 2022 saja, emisi CO2 dari PLTU batubara di seluruh dunia mencapai 9,88 miliar ton.
Sayangnya, dokumen Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan/CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diluncurkan pada 21 November 2023 hanya memasukkan dua PLTU batubara dengan kapasitas total 1,71 GW sebagai target pemensiunan dini. Dua PLTU batubara yang dimaksud adalah PLTU Pelabuhan Ratu (kapasitas 1,05 GW) yang ditargetkan pensiun dini pada tahun 2037 dan PLTU Cirebon-1 (kapasitas 660 MW) pada tahun 2035. Dua PLTU tersebut sebelumnya telah masuk rencana pemensiunan dini dalam skema Mekanisme Transisi Energi (ETM).
Hal tersebut membuat keseriusan pemerintah dalam agenda pemensiunan dini PLTU batubara dipertanyakan. Padahal, Kementerian ESDM menyatakan bahwa ada 33 PLTU batubara yang akan dipensiunkan dini, dengan kapasitas total 16,8 GW.
Menurut penelitian Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Center for Global Sustainability (CGS) University of Maryland, Indonesia bahkan harus menghentikan operasi 72 PLTU batubara untuk mendukung pencapaian target Emisi Nol Bersih. Hal tersebut dapat dimulai dengan menghentikan operasi pembangkitan listrik dari PLTU batubara sebesar 11% (kapasitas 9,2 GW) hingga 2030 dan selanjutnya meningkatkan jumlahnya menjadi 100% paling lambat sebelum tahun 2045.
Dua Skenario Dampak
Penelitian CERAH dan CELIOS bertajuk “Antisipasi Dampak Ekonomi Pensiun Dini PLTU Batubara” memberikan dua skenario dampak sosial dan ekonomi dari pemensiunan dini PLTU batubara, dengan menggunakan pemodelan pada PLTU Cirebon-1, PLTU Pelabuhan Ratu, dan PLTU Suralaya. Skenario tersebut dihasilkan dengan menggunakan beberapa indikator, yakni output ekonomi, Produk Domestik Bruto (PDB), laba pengusaha, pendapatan karyawan, pengurangan tenaga kerja, dan pertambahan penduduk miskin.
Skenario pertama adalah pemensiunan dini PLTU batubara tanpa pembangunan pembangkit energi terbarukan. Dampak yang akan terjadi adalah:
- Akan ada kehilangan PDB sebesar Rp3,96 triliun
- Pengurangan tenaga kerja sebanyak 14.022 orang.
- Pertambahan penduduk miskin sebanyak 3.373 orang.
- Penurunan laba pelaku usaha sebesar Rp4,14 triliun.
Sedangkan skenario kedua, pemensiunan dini PLTU batubara yang disertai dengan pembangunan pembangkit energi terbarukan, akan memberikan dampak sebagai berikut:
- Menyumbang PDB sebesar Rp82,6 triliun.
- Menyerap tenaga kerja sebanyak 639 ribu orang.
- Menurunkan jumlah penduduk miskin sebanyak 153.755 orang.
- Mendatangkan laba Rp44 triliun bagi pelaku usaha.
Sumber energi terbarukan yang dijadikan ukuran dalam skenario kedua ini meliputi tenaga surya, hidro, mini-hidro, angin, biogas, dan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSA). Skenario tidak mencantumkan beberapa solusi yang dianggap kontradiktif terhadap transisi energi berkeadilan, seperti geotermal, nuklir, co-firing, dan CCUS/CCS (Carbon Capture Utilization and Storage).
Dampak Spesifik GEDSI dan Tantangan di Daerah
Penelitian tersebut juga memberikan analisis mengenai dampak spesifik GEDSI (kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial) yang akan timbul dari agenda transisi energi. Di antaranya adalah:
- Meningkatnya ketimpangan GEDSI dalam demografi angkatan kerja dan kesetaraan upah.
- Meningkatnya persaingan dari mantan pekerja laki-laki di PLTU mungkin timbul di industri yang didominasi perempuan setelah penutupan.
- Meningkatnya permasalahan sosial, termasuk akses kesehatan dan keamanan pribadi bagi perempuan dan anak perempuan (termasuk kekerasan dalam rumah tangga).
- Munculnya kerugian dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
Lebih lanjut, dampak signifikan dari penghentian dini operasi PLTU batubara diyakini akan dirasakan oleh banyak penduduk di daerah di mana PLTU batubara beroperasi. Selama ini, banyak penduduk di daerah yang sumber penghidupannya berasal dari rantai pasok PLTU batubara. Hilangnya sumber pendapatan mereka akan memunculkan berbagai masalah sosial-ekonomi, yang akan membuat prinsip keadilan menjadi tidak terpenuhi dalam agenda transisi energi.
Karena itu, kata Direktur Eksekutif CERAH, Agung Budiono, “Pensiun dini PLTU dan pembangunan energi terbarukan harus dilakukan secara paralel, agar dampak ekonomi dan sosialnya bisa dimitigasi. Penting untuk melihat ini secara utuh. Pelibatan pemerintah daerah dalam penyusunan peta kebijakan ini juga sangat penting karena dampak ekonomi dari kebijakan ini nyata di level itu (daerah).”
Antisipasi Dampak Buruk
Pemensiunan dini PLTU batubara mesti berjalan dengan prinsip-prinsip keadilan. Langkah ini mesti mendukung upaya pemberantasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan, peningkatan kesehatan dan kesejahteraan, dan mendukung kesetaraan dan inklusi; alih-alih menciptakan masalah sosial-ekonomi baru.
Penelitian tersebut memberikan sejumlah rekomendasi bagi para pemangku kepentingan untuk mengantisipasi dampak yang tidak diinginkan dari penghentian dini operasi PLTU batubara, di antaranya:
- Melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna dalam proses pemensiunan dini PLTU batubara, terutama masyarakat yang akan terdampak.
- Menyusun sebuah peta jalan transisi pekerja, termasuk di antaranya menyediakan program reskilling dan upskilling yang diperuntukkan bagi para pekerja di seluruh rantai pasok PLTU.
- Memanfaatkan Dana Bagi Hasil (DBH) SDA dan pendapatan daerah dari pertambangan maupun aktivitas PLTU untuk mitigasi dampak sosial-ekonomi terhadap masyarakat dan pelaku UMKM yang terdampak penutupan PLTU.
- Memanfaatkan kembali aset dan lahan PLTU yang dipensiunkan untuk keperluan pembangkit dan transmisi energi terbarukan.
- Melibatkan pemerintah daerah dan aktor kunci dalam penyusunan Peta Jalan Percepatan Pengakhiran Operasional PLTU.
- Menyiapkan sistem jaminan sosial sebagai mitigasi dampak penutupan PLTU batu bara, termasuk anggaran bantuan sosial khusus masyarakat rentan dan miskin terdampak pensiun dini PLTU batubara.
- Memastikan dana JETP-ETM digunakan untuk mitigasi dampak pensiun dini PLTU dalam bentuk pendampingan teknis usaha masyarakat terdampak, dana tunai untuk kompensasi kerugian lingkungan PLTU, dan pelatihan pekerja di seluruh rantai pasok baik pekerja permanen maupun kontrak/formal dan informal.
- Mengevaluasi seluruh permasalahan terkait GEDSI dan mengintegrasikan perspektif GEDSI ke dalam semua aspek kerangka kebijakan transisi energi, termasuk undang-undang, kebijakan, proyek, dan alokasi anggaran.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.