Rakornas LPBI NU Ajak Umat Beragama Dukung Pengurangan Risiko Bencana dengan Ekologi Spiritual
Dunia saat ini sedang menghadapi perubahan iklim yang dampaknya telah dan sedang berlangsung di berbagai tempat di seluruh dunia. Sebagai pemimpin di muka Bumi, manusia mesti menjalankan tanggung jawab untuk merawat alih-alih mengeksploitasi alam. Kesadaran akan perubahan iklim mulai meningkat dan berbagai aksi telah banyak dilakukan, namun itu semua belum cukup. Perubahan iklim membutuhkan sikap dan penanganan yang koheren dan komprehensif, dan umat beragama sebagai warga dunia mayoritas punya peluang besar untuk berkontribusi.
Hal itulah yang ditekankan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) yang digelar di Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, Depok, Jawa Barat, pada 2-4 Juni 2023. Mengusung tema “Ekologi Spiritual: Upaya Merawat Jagat, Membangun Peradaban”, kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Forum Agama G20 atau Religion of Twenty (R20).
Peningkatan Frekuensi Bencana
Gelombang panas, kenaikan muka laut yang menenggelamkan wilayah pesisir hingga kota, dan penurunan keanekaragaman hayati adalah beberapa dampak perubahan iklim yang telah kita saksikan hari ini. Perubahan iklim juga meningkatkan frekuensi kejadian bencana alam di berbagai tempat. Di Indonesia sendiri, dari tahun 2010-2022, frekuensi bencana meningkat 82%.
Pada tahun 2023 saja, telah terjadi 1.675 bencana hingga 31 Mei, dengan 153 orang meninggal dunia, 5.487 luka-luka, dan lebih dari 2,8 juta orang mengungsi. “Kalau kita lihat data bencana terkait iklim yang berdampak signifikan di tingkat global, khususnya sejak 1961 sampai 2022, tren kenaikan anomali suhu berbanding lurus dengan peningkatan frekuensi kejadian bencana global,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto, yang turut hadir dalam Rakornas tersebut.
Pengurangan Risiko Bencana dengan Ekologi Spiritual
Dengan potensi besar yang dimiliki, umat beragama mesti meningkatkan aksi iklim yang lebih komprehensif dan berfokus ke arah pengurangan risiko bencana melalui perspektif ekologi spiritual. “Ini bukan lagi soal kalau ada gempa, lalu lari. Kalau ada gunung meletus, lari. Ada banjir, kita kirim perahu dan lain sebagainya. Tapi ini adalah masalah yang kompleks yang membutuhkan desain kebijakan yang koheren serta pendekatan dengan berbagai perspektif,” ujar Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf dalam sambutannya.
Gerakan ekologi spiritual yang digaungkan pada pertemuan R20 menyerukan pentingnya mengarusutamakan kesadaran dan tanggung jawab lingkungan di tengah masyarakat, khususnya di semua lini di mana umat beragama berkegiatan, termasuk dan tidak terbatas di lingkungan pesantren, di forum-forum dakwah, dan di dalam pelatihan kader organisasi keagamaan.
“Walaupun kita tahu bahwa di dalam Alquran dijelaskan bahwa Bumi diciptakan untuk kepentingan umat manusia, tetapi bukan berarti kita dipersilakan untuk mengeksploitasi. Itu berarti kita harus merawatnya,” imbuh Gus Yahya.
Terlibat dalam Kebijakan
Rakornas tersebut menyajikan dua seminar. Yang pertama bertema “Tantangan Perubahan Iklim terhadap Kebencanaan di Indonesia” dengan narasumber Oman Fathurahman (Kepala Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah), Agus Justianto (Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK), Alissa Wahid (Ketua PBNU), Agus Zainal Arifin (Kepala Pusdatin Kemensos), dan Jarwansyah (Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB).
Sedangkan seminar kedua bertajuk “Paradigma Baru Bencana Perubahan Iklim sebagai Penggerak Ekologi Spiritual” dengan narasumber Marlis Afridah (Founder & CEO Green Network Asia), Istiana Maftuchah (pengamat dan praktisi sustainable finance), Riza Suarga (Founder Indonesia Carbon Trade Association), dan Nisya Saadah Wargadipura (penggagas pesantren ekologi).
Dalam paparannya, Marlis menyampaikan rekomendasi UN Office for Disaster Risk Reduction yang dapat diadopsi oleh LPBI NU dan dikembangkan untuk lebih terlibat dalam kebijakan publik dan upaya-upaya pengurangan risiko bencana:
- Menggembleng kepemimpinan dan momentum politik.
- Mengakselerasi manajemen risiko bencana dan iklim yang komprehensif.
- Memberdayakan komunitas dan memobilisasi masyarakat untuk memastikan tidak ada seorang pun tertinggal di belakang.
- Berinvestasi dalam sistem infrastruktur yang berkelanjutan dan tangguh.
- Mempromosikan mekanisme pembiayaan dan investasi inovatif.
- Memastikan perubahan pola pikir dan perilaku melalui sains, bukti, dan komunikasi yang efektif.
Rakornas yang berlangsung selama tiga hari tersebut turut dihadiri oleh Ketua LPBI NU TB Ace Hasan Syadzili, Direktur Utama Yayasan Islam Al-Hamidiyah Imam Susanto Sjaichu, dan Presiden Direktur Danone Indonesia Connie Ang. Nama yang disebut terakhir menyerahkan donasi berupa satu unit mobil instalasi pengolah air kepada LPBI NU. Rakornas tersebut sekaligus menjadi momentum pengukuhan santri Penggerak Peduli Lingkungan di Pesantren Al-Hamidiyah.
Editor: Marlis Afridah
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.