Riset Trend Asia Ungkap Bahaya Co-firing Biomassa
Saat ini, dunia sedang berjuang mencapai emisi nol bersih atau Net Zero Emission (NZE) dalam rangka mengatasi perubahan iklim untuk masa depan yang lebih baik. Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan NZE tercapai pada 2060 atau lebih cepat, salah satunya dengan pemanfaatan teknologi dan energi baru dan terbarukan (EBT).
Sebagai upaya mencapai target itu, pemerintah melalui PT PLN menguatkan komitmen dalam transisi energi bersih dengan mengintensifkan co-firing biomassa pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). PLN mengklaim bahwa co-firing biomassa rendah emisi, bahan bakunya mudah didapatkan, dan tidak perlu membangun pembangkit baru karena bisa menggunakan PLTU-PLTU yang masih beroperasi.
Untuk diketahui, co-firing biomassa adalah pencampuran batubara dengan biomassa yang berasal dari berbagai bahan baku alami, seperti pelet kayu, pelet sampah, serbuk kayu, cangkang sawit, serbuk gergaji, dan sekam padi.
Riset Trend Asia Tunjukkan Sebaliknya
Hasil riset terbaru Trend Asia justru menunjukkan fakta yang sebaliknya. Alih-alih mengurangi, pencampuran biomassa-batubara akan menambah emisi karbon dari PLTU yang dalam RUPTL 2021-2030 diproyeksikan terus naik menjadi 298,9 juta ton CO2e pada 2030. Skenario yang diuji dalam riset ini yakni skala 5 persen biomassa (95 persen batubara) hingga 10 persen biomassa (90 persen batubara).
Riset Trend Asia juga mengungkap bahwa praktik co-firing biomassa menggunakan pelet kayu yang disuplai dengan skema Hutan Tanaman Energi (HTE) akan sangat berisiko dalam proses rantai pasok dan potensi deforestasi yang terkait erat dalam peningkatan emisi gas rumah kaca.
“Dari pemodelan matematika, co-firing 10 persen biomassa di 107 unit PLTU berpotensi menghasilkan total emisi hingga 26,48 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) per tahun,” kata anggota tim peneliti Trend Asia, Mumu Muhadjir.
Hingga Mei 2022, sebanyak 32 PLTU telah menerapkan co-firing biomassa, dan targetnya terus bertambah hingga 35 PLTU hingga akhir tahun ini. Tidak hanya itu, PLN juga menargetkan implementasi co-firing biomassa di 52 lokasi atau 107 unit PLTU di seluruh Indonesia hingga 2025.
“Dengan asumsi praktik co-firing biomassa pelet kayu sebesar 10 persen, maka kebutuhan biomassa untuk 107 PLTU yang berkapasitas total 18,8 GW akan mencapai 10,23 juta ton per tahun. Dari perhitungan kami, estimasi kebutuhan lahan HTE (Hutan Tanaman Energi) paling sedikit 2,33 juta hektare atau 35 kali luas daratan DKI Jakarta. Membangun HTE yang ekstensif berpotensi menimbulkan deforestasi,” ujar Mumu.
Pembangunan hutan tanaman industri (HTI) selama ini menunjukkan kecenderungan itu. Merujuk data MapBiomas Indonesia, 38 persen lahan dari total tutupan HTI tahun 2019 berasal dari pembukaan hutan alam.
Tidak Mengurangi Penggunaan Batubara
Temuan lainnya, co-firing biomassa tidak mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan batubara PLTU. Data Statistik PLN (2021) menunjukkan penggunaan biomassa sebanyak 282.628 ton, naik signifikan dari 9.731 ton pada 2020. Pada saat yang sama, penggunaan batubara juga naik menjadi 68,47 juta ton, dari 66,68 juta ton pada 2020.
“Kesannya karena praktik ini mengurangi porsi penggunaan batubara di PLTU, jadi co-firing ini lebih bersih, rendah emisi. Padahal, porsi biomassa yang dicampur hanya berjumlah kecil, 1 sampai 10 persen, sementara 90-an persennya tetap bersumber dari batubara. Sementara, para ilmuwan iklim dunia sudah mengingatkan negara-negara untuk tetap membiarkan batubara di dalam tanah dan segera berhenti menggunakan PLTU batubara agar tidak memperparah kondisi krisis iklim,” kata Juru Kampanye Trend Asia Meike Inda Erlina.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan Green Network Asia untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.